Cerpen Remaja Saya: KISAH DALAM SERANTANG KOLAK
Cerpen ini merupakan contoh cerpen berdasarkan pengalaman pribadi namun diberi tambahan imajinasi. Situasi anak kost dan sahabat-sahabat yang disebut serta keusilan yang ada, memang benar. Sedangkan makan kolak sendirian hingga sakit perut, hanyalah tambahan imajinasi. Cerpen yang saya tulis semasa SMA dulu ini, saya ketik apa adanya agar jiwa remajanya tetap terasa sesuai dengan kalian. Silakan disimak.....
Lanjutan sebelumnya.......
Sifat usilku muncul. Pintu kamar kututup dengan bantingan sehingga menimbulkan suara yang cukup berisik. Tak cukup dengan itu, aku lantas berjalan gedebak-gedebuk.“Hei! Siapa sih itu? Kayak nggak tahu kesenangan orang aja,” terdengar gerutuan si Bain dari dalam kamarnya yang memang bersebelahan dengan kamarku.
“Iya tuh anak! Lagian gue lagi mimpi ketemu ama si Sri nih!” gerutu yang lainnya. Kali ini suara dari kamar yang berhadapan dengan kamarku. Suara Harun. Tiga kamar yang lain tak kudengar kokok penghuninya. Kelihatannya mereka masa bodoh dengan keributan pagi ini.
Suasana kembali hening. Aku tak peduli. Ku ambil ember dan sabun di dapur lalu pergi mandi (di sungai).
Saat aku tiba di kost kembali, pintu kamar masih pada tertutup. Oh my God, rupanya tuh anak-anak masih ngorok.
“Friends, bangunnn!” Udah siang nih!” teriakku.
Tak ada respon. Malah suara ngoroknya tambah nyaring terdengar. “Bain, Didik, Harun, Udin, Hasan! Kalian pengen nasi goreng, nggak?” teriakku lagi. Kali ini dari arah ruang makan (dapur, bo). Sambil mengetuk-ngetukkan piring dengan sendok, buat meyakinkan mereka.
Tak perlu diulang lagi, pintu kamar pada terkuak, anak-anak berlarian ke dapur. Dengan tenang, aku masih duduk di meja makan sambil terus mengetuk-ngetukkan sendok dan piring.
“Mana nasinya, Di?” tanya Bain sambil mengucak matanya yang sipit (sudah sipit baru bangun tidur lagi, jadinya tambah sipit).
“Nasi goreng apaan? Kalian enak-enak mimpi makan ayam panggang, lalu siapa yang masak? Tak ada nasi goreng dong kalau nggak ada yang masak, “ujarku kalem.
"Lha, lu sendiri ngapain?”
“Hei, gue baru saja selesai mandi. Mana gue sempat.”
“Dasar lu, Di. Gue lagi mimpi makan di warung pojok ama si Sonia, lu bangunin! Sialan lu!” semprot Didik seraya berbalik, hendak kembali ke kamarnya setelah terlebih dahulu mengerling ke arah Udin.
“Eh lu, ngapain mimpiin doi gue?” ujar Udin sewot.
“Suka-suka. Namanya juga mimpi. Weeee!” cibir Didik. Udin kesal, ia berlari mengejar Didik yang sudah ngacir duluan ke kamarnya. Loloslah Didik. Sementara Udin lantas masuk juga ke kamarnya.
Kini tinggal aku, Bain, Harun, dan Hasan di ruang makan.
“Kalau nggak ada nasi goreng, lu nggak usah teriak-teriak sampai pita suara lu putus, Di. Lu kok usil banget, siah?” ujar Harun.
“Kalau lu sekali lagi teriak bahwa ada makanan, gue kagak percaya. Nih mata masih pengen ngebales kekurangan tadi malam,” Harun menyambung.
“Kalau lu nggak ada kerjaan, ketuk-ketukkan terus tuh piring sampai lu teler sendiri. Kalau perlu, panci lu pukulin!” Bain nggak mau kalah ngomelin aku. Ia lantas berbalik, kembali ke kamarnya mengikuti Harun dan Hasan yang terlebih dahulu telah menghilang.
Baru saja si Bain menutup pintu kamarnya, pintu depan ada yang mengetuk. Aku berlari ke depan. Ketika pintu terbuka, si Mila, gadis tanggung anak Bu Anu yang punya kost ini berdiri di mulut pintu. Ia menenteng rantang. Pasti makanan, pikirku.
“Ini dari mama buat kakak-kakak,” ujar gadis manis itu sambil menyodorkan rantang itu.
“Wah, ngerepotin nih, Mil. Lain kali kalau mau nganterin, lebih banyak lagi, dong!” ujarku menggoda seraya menerima rantang itu.
“Ah, kakak bisa aja. Udah ya, Kak. Mila permisi dulu.”
“He-eh.... Terima kasih gitu, bilang ama your mother ya?” kataku.
“Didik, Udin, Hasan, Bain, Harun....! Ada kolak, nih!” teriakku sepeninggal Mila. Masih belum cukup, ku gedor satu-persatu pintu kamar mereka. Tetap sunyi, tak ada reaksi. Iseng-iseng kuintip kamar si Didik lewat lubang kunci. Amboi, tuh anak lagi nungging dengan kepala ditutup dengan bantal.
Aku berhenti berteriak. Tidak ada gunanya kalau mereka pada diam semua. Mereka sangka aku bohong, kali. Ah, biarlah. Kalau sudah begini, aku yang untung, nih.
“Memang benar kata grandmother, banyak tidur jauh dari rezeki, “ gumamku. Olala!
Dengan berjingkat, aku langsung ke ruang makan dan menyantap serantang kolak itu sendirian. Yah, sendirian! Lima menit saja, rantang itu sudah kosong. Setelah meneguk secangkir air, aku lalu meninggalkan ruang makan tanpa membereskan rantang terlebih dahulu. Biar saja, nanti kalau anak-anak bangun, mereka baru tahu bahwa bangunkesiangan itu jauh dari rezeki. Hahaha.
Baru saja aku hendak menyentuh daun pintu kamarku, mendadak perutku mules. Nggak banyak cingcong lagi, aku ngacir ke WC.
Setelah keluar dari WC, aku merasa lega. Tapi kok aneh ya, masak sih cuma makan kolak aja perutku rasanya mules banget? Ada apa sih? Kualat kali karena aku memakan kolak yang seharusnya dimakan enam orang? Bah, tak mungkin. Tiba-tiba kecurigaan muncul di benakku. Aku tertegun, perutku mules lagi. Masyaallah!
Setelah keluar dari WC yang menyebalkan, aku langsung ke teras kost. Mencari Mila. Kebetulan aja tuh anak lagi baca novel cinta (sok tahu) di teras rumahnya. Kupanggil dia.
“Mil, yang ngasih kolak itu mamamu atau siapa?” tanyaku langsung setelah gadis itu berdiri di hadapanku.
“Mama Mila dong, Kak! Kanapa garang (Memangnya kenapa)?” Gadis itu dengan heran balik bertanya.
Lalu kuceritakan hal yang sedang terjadi pada Mila.
“Ooo, tahu deh Mila, Kak. Pasti itu kerjaan Kak Harun. Soalnya, waktu Mila lewat hendak mengantarkan kolak itu, dari jendela kamarnya, Kak Harun memanggil Mila. Trus, dia nanya, untuk siapa kolak itu? Mila jawab, ya untuk kakak-kakak. Lalu, Kak Harun meminta rantang itu dan dibawa ke kamarnya. Entah apa yang ia kerjakan, Kak. Lalu dia memberikan kembali rantang itu. Trus, Mila dikasih tahu harus memberikannya pada Kakak.” Gadis itu bercerita.
Aku manggut-manggut. Kuucapkan terima kasih padanya. Kemudian bergegas memasuki kost lalu menggedor-gedor pintu kamar si Harun. Saking kerasnya, penghuni kamar sebelah-menyebelah yang malah bermunculan.
“Ada apa lagi, Di?” Lu bertingkah aneh banget sih pagi ini?” Si Bain nyerocos duluan.
“Iya nih. Ada apa, sih?” Yang lain menyambung.
Sambil cengar-cengir, aku lantas menceritakan apa yang telah terjadi. Dan apa yang terjadi? Aku malah ditertawakan!
“Makanya, Di. Untung deh gue nggak peduli tadi waktu lu teriak ada kolak. Kalau tidak .... wah gue bisa ikut-ikutan bolak-balik WC, dong..... Hahaha....,” ujar Hasan. Yang lain ikut-ikut tertawa, lebih keras. Uh......
Tiba-tiba aku teringat pada si Harun. Aku lalu kembali menggedor pintu kamar si Harun tanpa mempedulikan tawa teman-teman yang sudah sampai pada tahap terbahak-bahak.
“Run, Harun.... Keluar lu kalau lu benar-benar bukan waria!” teriakku. Teman-teman menghentikan tawa mereka yang menjijikkan itu.
Daun pintu terbuka. Dengan tertunduk kayak siswa yang dimarahi guru karena ketahuan nggak ngerjakan PR, si Harun berdiri di mulut pintu.
“Lu ngasih apa pada kolak itu, heh?” tanyaku sewot. Entah sewot yang bagaimana.
“Maafin deh, Di. Gue masukin ama obat pencuci perut.”
“Obat pencuci perut? Laa ilaaha illallaah, pantesan gue sampai teler begini. Rupanya kamu.....”
Aku tak meneruskan kalimatku. Perutku kembali mules! Kontan aku lari ke belakang diiringi gelak tawa teman-teman.
Ditulis hari minggu, 24 Oktober 1993 (8 Jumadil Ula 1414 H)
Komentar
Posting Komentar