Postingan

Menampilkan postingan dengan label AAC

Ikatan Suci | Kutipan Bab XVII Novel Ayat-ayat Cinta

Gambar
Ikatan Suci | Kutipan Bab XVII Novel Ayat-ayat Cinta -- Lanjutan dari Bab XVI Apa yang terjadi antara diriku dan Nurul adalah tragedi yang sangat memilukan. Aku tak memungkiri, di dalam taksi selama perjalanan menuju rumah Eqbal Hakan Erbakan, hatiku menangis. Aku ini siapa? Nurul sungguh terlalu. Apakah dia bukan orang Jawa? Aku ini orang Jawa. Di Jawa, seorang khadim kiai dan batur santri, anak petani kere, mana mungkin berani mendongakkan kepala apalagi mengutarakan cinta pada seorang puteri kiai. Dia sungguh terlalu menunggu hal itu terjadi padaku. Semestinya dialah yang harus mengulurkan tangannya. Dia sungguh terlalu berulang kali ketemu tidak sekalipun mengungkapkan perasaannya yang mungkin hanya membutuhkan waktu satu menit. Atau kalau malu hanya dengan beberapa baris tulisan tangannya tragedi ini tidak akan terjadi. Menyatakan cinta untuk menikah di jalan Allah bukanlah suatu perbuatan tercela. Dia sungguh terlalu. Tapi dia tidak keliru. Dia telah menempuh jalan yang benar. ...

Cobaan | Kutipan Bab XVI Novel Ayat-ayat Cinta

Gambar
Cobaan | Kutipan Bab XVI Novel Ayat-ayat Cinta-- Lanjutan dari Bab XV Teladan orang-orang yang bercinta adalah Baginda Nabi. Cinta sejati adalah cintanya sepasang pengantin yang telah diridhai Tuhan dan didoakan seratus ribu malaikat penghuni langit. Tak ada perpaduan kasih lebih indah dari pernikahan, demikian sabda baginda Nabi. Setelah melihat Aisha yang tiada lain adalah calon bidadariku, belahan jiwa yang akan mendampingi hidupku, tak bisa kupungkiri aku didera rasa cinta yang membuncah-buncah. Inilah cintaku yang pertama, dan Aisha adalah gadis pertama yang menyentuh hatiku dan menjajahnya. Waktu di Aliyah dulu, aku pernah naksir pada seorang gadis tapi tak pernah sampai menyentuh hati. Tak pernah sampai merindu dendam. Aku bahkan tak punya keberanian untuk sekadar menyapanya atau mengingat namanya. Diriku yang saat itu hanya berstatus sebagai khadim romo kiai, batur para santri, tak berani sekadar mendongakkan kepala kepada seorang santriwati. Juga selama di Kairo, sampai Aish...

Pertemuan | Kutipan Bab XV Novel Ayat-ayat Cinta

Gambar
Pertemuan | Kutipan Bab XV Novel Ayat-ayat Cinta -- Lanjutan dari Bab XIV Aku sampai di masjid Abu Bakar Shiddiq tepat saat azan Ashar berkumandang. Seluruh tubuhku bergetar tidak seperti biasanya. Keringat dinginku keluar. Aku tidak tahu shalatku kali ini khusyuk apa tidak. Yang jelas mataku basah. Dalam sujud aku menangis memohon kepada Allah agar diberi umur yang penuh berkah, pertemuan dengan calon belahan jiwa yang penuh berkah, akad nikah yang penuh berkah, malam zafaf yang penuh berkah, dan masa depan yang penuh berkah. Selesai shalat aku masih duduk menitikkan air mata. Aku meyakinkan diriku bahwa aku tidak sedang bermimpi. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan dia. Dia yang aku belum tahu namanya dan belum tahu wajahnya seperti apa. Dia yang telah lama kurindu. Aku minta kekuatan kepada Allah. Syaikh Utsman menyentuh pundakku beliau tersenyum. Beliau mengajakku ikut serta dalam mobil beliau. Dari masjid Abu Bakar sampai ke rumah beliau memang agak jauh. Syaikh Utsman memilik...

Badai Kegelisahan | Kutipan Bab XIV Novel Ayat-ayat Cinta

Gambar
Badai Kegelisahan | Kutipan Bab XIV Novel Ayat-ayat Cinta -- Lanjutan dari Bab XIII Tiga hari berturut-turut aku shalat istikharah. Yang terbayang adalah wajah ibu yang semakin menua. Sudah tujuh tahun lebih aku tidak berjumpa dengannya. Oh ibu, jika engkau adalah matahari, aku tak ingin datang malam hari. Jika engkau adalah embun, aku ingin selalu pagi hari. Ibu, durhakalah aku, jika ditelapak kakimu tidak aku temui sorga itu. (Dari penggambungan dua petikan sajak Fatin Hamama berjudul ‘Aku ingin ibu’ dan ‘Ibu (3)’ yang terdapat dalam kumpulan puisinya “Papyrus”.) Maka kuputuskan untuk minta persetujuan ibu. Ibu adalah segalanya bagiku. Jika beliau meridhai maka aku akan melangkah maju. Jika tidak maka aku pun tidak. Aku telpon ke Indonesia. Ayah dan ibu tinggal jauh di desa. Tak ada telpon di sana. Aku menelpon ke rumah Pak Zainuri, mertua paman yang penilik sekolah dan tinggal di kota kecamatan. Rumah paman tak jauh dari beliau. Selama ini, jika aku ingin menghubungi ayah dan ibu c...

Ketika Hati Berdesir-desir | Kutipan Bab XIII Novel Ayat-ayat Cinta

Gambar
Kembali ke HOME Lanjutan dari Bab XII Tak terasa sudah memasuki pertengahan September. Suhu musim panas mulai turun. Paling tinggi 32 derajat celcius. Bulan Oktober nanti adalah bulan peralihan dari musim panas ke musim dingin. Si Musthafa Fathullah Said, teman Mesir satu kelas di pascasarjana yang juga sedang mengajukan proposal tesis memberitahukan, bahwa dua hari lagi aku harus ke kampus untuk ujian proposal tesis yang kuajukan. Aku terfokus pada ujian yang sangat menentukan itu. Jika proposalku ditolak maka aku harus menunggu setengah tahun lagi untuk mengajukan proposal baru. As you sow, so will you reap! Demikian pepatah Inggris mengatakan. Seperti apa yang anda tanam, sebegitu itulah yang akan anda petik. Rasanya tidak sia-sia apa yang telah kukerjakan selama ini. Membuat jadwal ketat, bolak-balik ke National Library, ke perpustakaan IIIT di Zamalek, dan mengumpulkan bahan. Membaca literatur-literatur klasik berkaitan Ilmu Quran, berdiskusi dengan teman-teman pascasarjana. Kerj...

Siapa Malaikat Itu? | Kutipan Bab XII Novel Ayat-ayat Cinta | Apa itu Meningitis?

Gambar
Kembali ke HOME Lanjutan dari Bab XI Wajah itu Nurul. Ya Nurul. Ketika aku terbangun dari ketidaksadaran, aku melihatnya, tak jauh dari kakiku bersama teman-temannya. Kulihat sekilas wajahnya sendu. Ada juga ketua dan pengurus PPMI, Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia. Saiful duduk di dekat kepalaku. Ia paling dekat denganku. Tangannya mengusap pipiku yang basah. “Alhamdulillah, Mas Fahri sadar.” Aku mendengar mereka memuji Allah. “Sabar Mas Ya? Insya Allah segera sembuh,” lirih Saiful dengan mata berkaca-kaca. “Aku sakit apa katanya Saif?” “Dokter belum menjelaskannya Mas.” Zaimul Abrar, Ketua PPMI, mendekat, mendoakan, dan atas nama seluruh mahasiswa ikut merasa sedih atas sakit yang menimpaku. Lalu gantian Nurul mewakili teman-temannya, ketika dekat dengan diriku ia menatapku dengan penuh iba dan sorot mata yang aku tidak tahu maknanya. Kedua matanya berkaca-kaca dan sendu. “Cepat sembuh Kak. Cepat selesaikan masternya dan cepat mengabdi di tanah air tercinta,” katanya terbat...