Cobaan | Kutipan Bab XVI Novel Ayat-ayat Cinta
Cobaan | Kutipan Bab XVI Novel Ayat-ayat Cinta-- Lanjutan dari Bab XV Teladan orang-orang yang bercinta adalah Baginda Nabi. Cinta sejati adalah cintanya sepasang pengantin yang telah diridhai Tuhan dan didoakan seratus ribu malaikat penghuni langit. Tak ada perpaduan kasih lebih indah dari pernikahan, demikian sabda baginda Nabi. Setelah melihat Aisha yang tiada lain adalah calon bidadariku, belahan jiwa yang akan mendampingi hidupku, tak bisa kupungkiri aku didera rasa cinta yang membuncah-buncah. Inilah cintaku yang pertama, dan Aisha adalah gadis pertama yang menyentuh hatiku dan menjajahnya.
Waktu di Aliyah dulu, aku pernah naksir pada seorang gadis tapi tak pernah sampai menyentuh hati. Tak pernah sampai merindu dendam. Aku bahkan tak punya keberanian untuk sekadar menyapanya atau mengingat namanya. Diriku yang saat itu hanya berstatus sebagai khadim romo kiai, batur para santri, tak berani sekadar mendongakkan kepala kepada seorang santriwati.
Juga selama di Kairo, sampai Aisha membuka cadarnya di rumah Syaikh Utsman. Kuakui ada satu nama yang membuatku selalu bergetar bila mendengarnya, namun tak lebih dari itu. Aku merasa sebagai seekor punguk dan seluruh mahasiswi Indonesia di Kairo adalah bulan. Aku tidak pernah berusaha merindukannya. Dan tak akan pernah kuizinkan diriku merindukannya. Karena aku merasa itu sia-sia. Aku tak mau melakukan hal yang sia-sia dan membuang tenaga.
Aku lebih memilih mencurah seluruh rindu dendam, haru biru rindu dan deru cintaku untuk belajar dan menggandrungi Al-Qur’an. Telah kusumpahkan dalam diriku, aku tak akan mengulurkan tangan kepada seorang gadis kecuali gadis itu yang menarik tanganku. Aku juga tak akan membukakan hatiku untuk mencintai seorang gadis kecuali gadis itu yang membukanya. Bukan suatu keangkuhan tapi karena rasa rendah diriku yang selalu menggelayut di kepala. Aku selalu ingat aku ini siapa? Anak petani kere. Anak penjual tape. Aku ini siapa?
aku adalah lumpur hitam
yang mendebu
menempel di sepatu dan sandal
hinggap di atas aspal
terguyur hujan
terpelanting
masuk comberan
siapa sudi memandang
atau mengulurkan tangan?
tanpa uluran tangan Tuhan
aku adalah lumpur hitam
yang malang
Tuhan telah mengucapkan kun! Lumpur hitam pun dijelma menjadi makhluk yang dianugerahi kenikmatan cinta yang membuncah-buncah dan rindu yang berdebam-debam. Seorang bidadari bermata bening telah disiapkan untuknya. Fa bi ayyi alaai Rabbikuma tukadziban! Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.
Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari
yang baik-baik lagi cantik-cantik.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.
Bidadari-bidadari yang jelita, putih bersih dipingit dalam rumah.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan (Surat Ar-Rahman: 70-73.)
Belum juga masuk surga, Tuhan telah begitu pemurah memperlihatkan seorang bidadari yang baik dan cantik, bidadari yang putih bersih bernama Aisha. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakan yang kamu dustakan?
Maka tiada henti menangis kepada Tuhan, merasa terlalu agung anugerah yang dilimpahkan oleh-Nya kepadaku yang lumpur hitam. Mengiba-iba kepadaNya kiranya anugerah ini bukan bentuk istidraj, bukan bentuk nikmat yang sejatinya azab. Dalam sujud tangis di keheningan malam kuisakkan seribu doa dari ratapan jiwa. Doa Adam, doa Ibrahim, doa Ayyub, doa Ya’qub, doa Daud, doa Sulaiman, doa Zakariya, doa Muhammad, doa seribu nabi, doa seribu wali, dan doa seribu sufi yang telah mereguk cinta hakiki dan melahirkan sejuta generasi rabbani.
* * *
Dua hari menjelang hari H, barulah teman-teman satu rumah aku beritahu. Semua urusan di KBRI sudah selesai. Mahar telah aku beli; seuntai kalung, sebuah cincin dan mushaf mahar. Aku juga telah membeli satu stel jas yang pantas. Aku meminta kepada teman-teman untuk mengundang teman-teman terdekat. Tak lebih dari empat puluh orang. Mohon kesediaan datang di acara akad nikah Jum’at depan, di masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq, Shubra El-Khaima.
Seperti biasa Rudi nyeletuk, “Nurul dkk. diundang nggak Mas?”
“Untuk akadnya tidak usah. Tapi walimahnya ya,” jawabku dengan tegas. Sebagai kabar gembira kuberitahukan pada teman-teman bahwa Bapak Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) secara khusus telah kuminta untuk menjadi saksi, dan beliau telah menyatakan kesediaannya. Aku juga minta pada teman-teman untuk mengundang dua ratus orang. Seratus lima puluh putera dan lima puluh puteri untuk datang di acara walimatul ‘ursy. Teman-teman satu rumah sepertinya masih tidak percaya pada apa yang aku kabarkan. Namun mereka mau tidak mau harus percaya sebab aku tidak pernah main-main untuk urusan serius.
Aku datangi rumah Tuan Boutros. Kosong.
Saiful bilang, saat aku dua hari tidak di rumah, Tuan Boutros sekeluarga pergi rekreasi ke Pantai Hurgada. Dua hari yang lalu aku memang sibuk di Nasr City membantu teman-teman Turki mempersiapkan segalanya. Aku merasa tidak lengkap jika sampai pesta walimatul ursy nanti keluarga Tuan Boutros tidak menyaksikan. Mereka adalah orang terdekat selama tiga tahun ini. Aku mencoba menghubungi nomor handphone Maria. Jawabannya, nomor yang anda hubungi sedang berada di luar area! Sedih! Aku minta pada Rudi agar terus mencoba menghubungi Maria, memberitahukan acara paling bersejarah dalam hidupku ini pada keluarganya. Mohon mereka bisa datang pada saat pesta walimah.
Yang aku belum bisa mengerti adalah di manakah nanti aku setelah menikah? Aku telah berusaha menyewa rumah di Hayyu Tsamin tapi Eqbal tidak mengizinkannya. Katanya rumahnya telah disiapkan oleh Aisha. Aku ingin tahu rumahnya di mana dan sewanya perbulan berapa, tapi dia juga tidak mau memberitahukannya, katanya biar surprise sesuai permintaan Aisha. Yang jelas, kata dia, rumah itu memang sangat layak untuk tinggal memadu kasih bersama Aisha. Aku pasrah saja, aku tidak meragukan ketulusan mereka.
Satu hari menjelang akad nikah Eqbal dan dua orang Turki datang dengan membawa mobil pick up. Dia bilang akan mengangkut barang-barangku untuk di tata di rumah baru. Aisha yang memintanya. Komputer, beberapa stel pakaian, dan puluhan jilid buku dan kitab penting diangkut. Aku tidak boleh ikut.
“Insya Allah, semuanya akan beres dan aman. Saat ini kau adalah raja yang tidak boleh susah. Kami berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian berdua. Dan jangan lupa selesai shalat Jum’at kau langsung ke rumahku di Maadi. Kita akan berangkat ke Shubra bersama,” kata Eqbal yang sebentar lagi harus kupanggil paman.
Ketika melihat kamarku yang berubah dan kehilangan banyak isinya aku menitikkan air mata. Waktu terus berjalan. Manusia tidak bisa menentang perubahan. Tak lama lagi aku akan meninggalkan kamar tercinta ini. Aku akan meninggalkan teman-teman dan membuka lembaran hidup baru bersama seorang isteri bernama Aisha.
berjalan di titian kodrat
(apa yang harus kita katakan)
jika berharap Dia menentukan
(Dipetik dari sajak berjudul ‘Tuhan dan Titahnya’ karya Fatin Hamama)
* * *
Ketika fajar Jum’at merekah di ufuk timur, aku berkata dalam hati, “Inilah hariku.” Tiada sabar rasanya menunggu ashar tiba. Matahari seperti diganduli malaikat. Hari terasa berat. Waktu sepertinya berjalan begitu lambat.
Usai shalat shubuh teman-teman telah bersiap. Mereka kubagi tugas. Rudi shalat Jum’at di Masjid Indonesia menjadi petunjuk jalan bagi Pak Atdikbud. Mishbah ke Wisma Nusantara menjadi petunjuk jalan bagi bus yang disediakan untuk teman-teman undangan. Jarak Nasr City-Shubra tidak dekat. Sedangkan Hamdi dan Saiful nanti begitu selesai shalat Jum’at langsung ke Shubra. Aku sendiri usai shalat Jum’at langsung ke rumah Eqbal Hakan Erbakan.
Pukul delapan tepat telpon berdering, kukira dari Eqbal. Ternyata tidak. Dari Ustadz Jalal. Katanya beliau dan isterinya telah sampai di mahattah metro Hadayek Helwan. Beliau datang untuk membicarakan masalah yang dulu pernah beliau pesankan melalui Nurul. Kuminta Saiful untuk menjemput Ustadz Jalal. Aku jadi merasa tidak enak tidak mengundang beliau secara langsung untuk menghadiri akad nikah. Kutanyakan pada teman-teman apakah undangan walimah untuk beliau sudah sampai. Tidak tahu, mungkin belum, sebab undangan itu dititipkan pada Mas Khalid. Dan rencananya Mas Khalid akan menyampaikannya usai shalat Jum’at nanti. Meskipun terkesan sangat mepet dan mendadak terpaksa nanti Ustadz Jalal akan kumohon untuk datang ke acara akad nikah.
Ustadz Jalal dan ustadzah Maemuna, isterinya, sampai dengan wajah cerah. Mereka datang cuma berdua, tidak membawa ketiga anak mereka.
“Mana keponakan-keponakanku Ustadz? Kenapa tidak dibawa serta?” tanyaku basa-basi.
Hamdi datang dengan nampan berisi tiga gelas teh Arousa panas dan satu piring roti bolu. Entah dapat bolu dari mana anak itu.
“Sekali-kali kami ingin bepergian berdua tanpa diganggu anak-anak. Biar bisa sedikit mesra. Pagi ini kami benar-benar menikmati perjalanan dengan metro. Dari Ramsis sampai Hadayek Helwan sepi, hawanya juga sejuk,” jawab Ustadz Jalal.
“Mereka ditinggal sendirian di rumah?” heranku.
“Tidak. Kebetulan Nurul dan teman-temannya usai shalat shubuh tadi datang ke rumah. Jadi mereka yang menjaga,” sahut Ustadzah Maemuna.
“O begitu, syukurlah. Ngomong-ngomong Ustadz dan Ustadzah menyempatkan untuk berkunjung kemari ada yang bisa saya bantu?” ucapku.
Ustadz Jalal memberi tahu ada masalah sangat penting dan rahasia yang ingin beliau bicarakan denganku. Beliau minta tempat yang aman. Kubawa beliau dan Ustadzah Maemuna ke dalam kamarku yang berantakan. Pintu kututup rapat.
“Kok berantakan begini. Komputermu dan kitab-kitabmu tidak ada. Mau pindahan nih, atau malah sedang pindahan?” komentar Ustadz Jalal.
“Nanti setelah masalah Ustadz selesai akan aku ceritakan, insya Allah. Silakan Ustadz bicara,” jawabku.
“Kami berdua datang kemari memohon bantuanmu menyelesaikan suatu masalah serius. Tidak masalah kami sebenarnya, tapi masalah seseorang yang dekat dengan kami. Dan yang paling tepat untuk kami minta pertolongan adalah engkau, Fahri. Kami sangat berharap engkau bisa membantu,” kata Ustadz Jalal.
“Kau saya diberi kemampuan untuk itu. Insya Allah. Masalah apa itu Ustadz?”
“Ini masalah serius yang mengancam jiwa Nurul?”
Mendengar hal itu pikiranku langsung tertuju pada buntut peristiwa Noura bersembunyi di rumah Nurul. Jangan-jangan Si Muka Dingin Bahadur tahu itu dan memperkarakannya, tapi kalau itu masalahnya kenapa diriku tidak ikut diperkarakan?.
“Bagaimana jiwa Nurul bisa terancam Ustadz? Apa yang terjadi padanya, dan apa yang bisa saya lakukan untuk membantunya?”
“Kau tahu Nurul adalah puteri tunggal Bapak KH. Ja’far Abdur Razaq, pengasuh pesantren besar di Jawa Timur. Selain cantik dia juga cerdas dan halus budi. Sejak masih kelas satu aliyah sudah banyak kiai besar yang melamar Nurul untuk puteranya. Nurul tidak mau. Ketika akhirnya Nurul belajar di Al Azhar pinangan itu justru semakin banyak. Kiai Ja’far ayah Nurul berkali-kali menelpon Nurul agar segera menentukan pilihan pendamping hidupnya. Beliau merasa sangat tidak enak menolak pinangan terus menerus. Apalagi jika pinangan itu datangnya jadi kiai yang lebih senior dari beliau atau dari guru beliau. Jika Nurul sudah tunangan atau menikah dengan seseorang yang dipilihnya tentu kedua orang tua Nurul akan lebih tenang. Dan jika berjumpa dengan para kiai-kiai di Jawa Timur tidak akan terbebani oleh sindiran-sindiran halus dari para kiai yang meminang puterinya. Dua bulan yang lalu ayahnya menelpon ada pinangan dari Kiai Rahmad untuk puteranya Gus Anwar. Kiai Rahmad ini adalah gurunya ayah Nurul waktu mondok di Bandar Kidul Kediri. Ayah Nurul tidak bisa menolaknya kecuali Nurul sudah memiliki seorang calon di Mesir. Jika tidak, maka Nurul terpaksa harus menerima pinangan itu. Inilah masalahnya.”
“Nurul sendiri bagaimana? Saya mendengar ada beberapa mahasiswa yang suka dengannya.”
“Memang ada beberapa mahasiswa yang mendekati dia secara baik-baik. Ada yang secara langsung. Ada juga yang lewat kami atau teman satu rumahnya. Tapi tak ada yang cocok di hatinya. Ternyata sejak dua tahun yang lalu diam-diam Nurul telah kagum dan jatuh hati pada seseorang. Tapi sayangnya Nurul tidak berani mengungkapkannya karena rasa malunya yang tinggi. Ia berharap orang yang dicintainya terbuka hatinya dengan dan meminangnya tapi sepertinya orang yang dicintainya tidak tahu kalau Nurul mencintainya. Rasa cinta Nurul padanya membuncah dan tak bisa dia sembunyikan sejak dua bulan yang lalu. Sejak ayahnya menelponnya untuk menerima Gus Anwar atau mencari calon sendiri di Mesir yang shalih. Saat itu dia menangis pada isteriku. Ia mengungkapkan seluruh isi hatinya. Ia minta kepada isteriku untuk membantunya. Isteriku memberi saran untuk berterus terang saja pada orang yang dicintainya itu. Tapi Nurul tidak mau, ia sangat malu. Nurul minta pada isteriku agar aku yang bicara dengan orang itu. Aku sangat sibuk sekali dan aku merasa tidak tepat untuk bicara pada orang yang dicintai Nurul itu. Akhirnya aku merasa aku perlu minta bantuanmu. Kau sangat dekat dengan orang itu. Sudah berkali-kali Nurul bertanya padaku bagaimana hasilnya. Aku tidak bisa menjawabnya. Sebab aku belum bertemu denganmu. Kau sibuk aku pun sibuk. Baru kali ini aku bisa bertemu denganmu. Aku sangat berharap kau bisa membantu.”
“Asal saya mampu, insya Allah Ustadz. Dia mahasiswi yang baik. Saya salut dan kagum padanya. Meskipun telah menjabat sebagai Ketua Wihdah tapi dia masih mau meluangkan waktu mengajar anak-anak baca Al-Qur’an di Masjid Indonsia. Dia juga orang yang mudah diminta tolong. Sangat kasihan memang kalau orang sebaik dia tidak mendapatkan apa yang dicintainya. Namanya orang kalau sudah cinta itu susah untuk tidak dipertemukan. Abu Bakar saja ketika ada seorang budak perempuan merana karena mencintai Muhammad bin Qasim bin Ja’far bin Abi Thalib hati beliau luluh. Beliau langsung menemui tuan pemilik budak itu dan membelinya, lalu mengirimnya ke Muhammad bin Qasim bin Ja’far bin Abi Thalib. Hal serupa juga dilakukan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Cinta memang tidak mudah. Orang Inggris bilang, Love is a sweet torment. Cinta adalah siksaan yang mengasyikkan. Tapi jika orang terus tersiksa karena cinta, ia bisa binasa seperti Laila dan Majnun. Kebinasaan paling tragis adalah yang disebabkan oleh cinta,” jawabku.
Ustadzah Maemuna menyahut,
“Dan kami tak ingin melihat Nurul binasa karena cintanya pada pujaan hatinya.”
“Memangnya rasa cinta Nurul sampai seperti itu?” heranku.
“Sejak dua bulan yang lalu. Sejak ia menangis di pangkuanku, Nurul sering menangis sendiri. Berkali-kali dia cerita padaku akan hal itu. Ia ingin sekali orang itu tahu bahwa dia sangat mencintainya, lalu orang itu membalas cintanya dan langsung melaksanakan sunnah Rasulillah. Nurul anti pacaran. Tapi rasa cinta di dalam hati siapa bisa mencegahnya. Aku tahu benar Nurul siap berkorban apa saja untuk kebaikan orang yang dicintainya itu. Bantulah kami membuka hati orang itu?” kata Ustadzah Maemuna.
“Insya Allah. Saya paling tak tahan melihat seseorang tersiksa batinnya. Jadi siapakah orang yang sangat beruntung itu, orang yang dipuja dan dicintai gadis shalihah seperti Nurul?” tukasku tenang. Dalam hati aku merasa bersyukur bahwa aku mendapatkan seorang biadadari yang kucintai tanpa harus melalaui siksaan batin serumit Nurul. Tenyata menjadi seorang gadis tidak semudah menjadi seorang pemuda.
“Kau sangat mengenalnya kuharap kau tidak kaget mendengar namanya kusebut,” kata Ustadz Jalal.
“Santai saja Ustadz, insya Allah saya akan biasa saja,” jawabku santai.
“Orang yang dicintai Nurul, yang namanya selalu dia sebut dalam doa-doanya, yang membuat dirinya satu minggu ini tidak bisa tidur entah kenapa, adalah FAHRI BIN ABDULLAH SHIDDIQ!”
Mendengar namaku yang disebut aku bagaikan mendengar gelegar petir menyambar telingaku. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar dari lisan ustadz Jalal.
“Siapa Ustadz, mungkin ustadz salah ucap?” tanyaku meyakinkan apa yang aku dengar.
“Aku tidak salah ucap Fahri. Kaulah orangnya. Nurul sangat mencintaimu. Berkali-kali dia bicara denganmu langsung atau lewat telpon tapi dia tidak berani mengatakan itu. Dan sudah berkali-kali dia minta kami menemuimu mengungkapkan isi hatinya padamu, tapi baru kali ini aku sempat. Bagaimana Fahri kau bisa membantu Nurul bukan?”
Aku meneteskan air mata. Tetesan itu makin lama makin deras. Akupun tergugu. Kenapa jalan takdirnya seperti ini? Kenapa berita yang sebenarnya sangat membahagiakan hatiku ini datang terlambat. Satu-satu nama seorang gadis yang bila kudengar hatiku bergetar adalah Nurul. Nurul Azkiya. Berita yang seharusnya membuat hatiku berbunga-bunga itu kini justru membuat hatiku terasa pilu. Dalam hati aku menyumpahi kebiasaan buruk orang Jawa. Alon-alon waton kelakon! Jadinya selalu terlambat. Jika dua bulan yang lalu Nurul mengucapkan tiga kata saja: maukah kamu menikahi aku? Tak akan ada kepedihan ini. Sejak bertemu muka dengan Aisha hatiku sepenuhnya dipenuhi rasa cinta kepadanya. Dan beberapa jam lagi ikatan suci yang menyatukan cinta kami akan terjadi, insya Allah.
Dengan terisak-isak kukatakan pada Ustadz Jalal dan Ustadzah Maemunah, “Oh, andaikan waktu bisa diputar kembali. It is no use crying over spilt milk . Tak ada gunanya menangisi susu yang telah tumpah!”
Lalu kucoba menenangkan diri dan kujelaskan semuanya yang telah terjadi atas diriku. Aku tak bisa menyembunyikan tangisku saat menceritakan semuanya. Pertemuan dengan Aisha di Metro, diskusi dengan Alicia, tawaran Syaikh Utsman, pertemuan dengan Aisha dan keluarganya, sampai rencana akad nikah dan walimah yang tinggal menunggu jam D nya.
“Apa yang bisa aku lakukan untuk Nurul Ustadz, apa. Seandainya Ustadz jadi diriku apa yang bisa Ustadz lakukan?” kataku sambil tergugu, hatiku merasa pilu. Seandainya Nurul dan Aisha datang bersamaan, aku tak perlu istikharah untuk memilih Nurul. Aku lebih mengenal Nurul daripada Aisha. Tapi siapa bisa menarik mundur waktu yang telah berjalan.
Ustadz Jalal dan Ustadzah Maemuna menangis terisak-isak. Ustadz Jalal merasa sangat menyesal dan sangat bersalah pada Nurul. Sudah berkali-kali Nurul mendesaknya untuk menemui aku dan menjelaskan masalah itu tapi Ustadz Jalal selalu mengulur waktu karena konsentrasi memperbaiki disertasi doktoralnya. Yang ia sesalkan adalah kenapa beliau tidak menyempatkan sepuluh menit saja untuk meneleponku memberikan sekadar isyarat ada seorang yang mencintaiku. Ustadzah Maemuna menangis tersedu-sedu, ia tak bisa membayangkan pilunya hati Nurul. Hanya karena sebuah keterlambatan sesuatu yang paling berharga bagi jiwanya tidak ia dapatkan.
Dalam tangisku aku merasa masalah Nurul ini adalah cobaan besar bagi komitmenku atas semua kata-kataku di rumah Syaikh Utsman. Cobaan atas cinta dan kesetiaanku pada Aisha. Bisa saja aku nekad membatalkan kesepakatan dan semua rencana yang telah ditetapkan seperti dalam film India. Akad Nikah toh belum terjadi. Mahar belum aku bayarkan. Aku juga sama sekali belum pernah menyentuh Aisha. Melihat wajahnya juga baru satu kali. Tapi jika aku melakukan hal itu, namaku akan ditulis dengan lumpur hitam berbau busuk oleh sejarah. Aku akan menjadi orang munafik paling menyakitkan hati orang-orang yang kucintai dan kuhormati seperti Syaikh Utsman, Ummu Fathi, Eqbal Hakan Erbakan dan isterinya, dan tentunya paling sakit dan terzalimi adalah Aisha. Kemudian seluruh mahasiswa Turki di Mesir akan melaknat perbuatanku. Dan kelak ketika aku berjumpa dengan Baginda Nabi beliau akan murka padaku karena aku telah menyakiti perasaan sekian banyak umatnya. Aku tak mau itu terjadi. Lebih dari itu aku tidak tahu seberapa panjang umurku ini. Jika aku membatalkan pernikahan yang telah dirancang matang, aku tidak tahu apakah Allah masih akan memberikan kesempatan padaku untuk mengikuti sunnah Rasul. Ataukah aku justru tidak akan punya kesempatan menyempurnakan separo agama sama sekali. Tidak selamanya perasaan harus dituruti. Akal sehat adalah juga wahyu Ilahi.
Silakan lanjutkan baca di novelnya, Ayat-ayat Cinta, Novel Pembangun Jiwa Bab XVII
Image: Google
Waktu di Aliyah dulu, aku pernah naksir pada seorang gadis tapi tak pernah sampai menyentuh hati. Tak pernah sampai merindu dendam. Aku bahkan tak punya keberanian untuk sekadar menyapanya atau mengingat namanya. Diriku yang saat itu hanya berstatus sebagai khadim romo kiai, batur para santri, tak berani sekadar mendongakkan kepala kepada seorang santriwati.
Juga selama di Kairo, sampai Aisha membuka cadarnya di rumah Syaikh Utsman. Kuakui ada satu nama yang membuatku selalu bergetar bila mendengarnya, namun tak lebih dari itu. Aku merasa sebagai seekor punguk dan seluruh mahasiswi Indonesia di Kairo adalah bulan. Aku tidak pernah berusaha merindukannya. Dan tak akan pernah kuizinkan diriku merindukannya. Karena aku merasa itu sia-sia. Aku tak mau melakukan hal yang sia-sia dan membuang tenaga.
Aku lebih memilih mencurah seluruh rindu dendam, haru biru rindu dan deru cintaku untuk belajar dan menggandrungi Al-Qur’an. Telah kusumpahkan dalam diriku, aku tak akan mengulurkan tangan kepada seorang gadis kecuali gadis itu yang menarik tanganku. Aku juga tak akan membukakan hatiku untuk mencintai seorang gadis kecuali gadis itu yang membukanya. Bukan suatu keangkuhan tapi karena rasa rendah diriku yang selalu menggelayut di kepala. Aku selalu ingat aku ini siapa? Anak petani kere. Anak penjual tape. Aku ini siapa?
aku adalah lumpur hitam
yang mendebu
menempel di sepatu dan sandal
hinggap di atas aspal
terguyur hujan
terpelanting
masuk comberan
siapa sudi memandang
atau mengulurkan tangan?
tanpa uluran tangan Tuhan
aku adalah lumpur hitam
yang malang
Tuhan telah mengucapkan kun! Lumpur hitam pun dijelma menjadi makhluk yang dianugerahi kenikmatan cinta yang membuncah-buncah dan rindu yang berdebam-debam. Seorang bidadari bermata bening telah disiapkan untuknya. Fa bi ayyi alaai Rabbikuma tukadziban! Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.
Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari
yang baik-baik lagi cantik-cantik.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.
Bidadari-bidadari yang jelita, putih bersih dipingit dalam rumah.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan (Surat Ar-Rahman: 70-73.)
Belum juga masuk surga, Tuhan telah begitu pemurah memperlihatkan seorang bidadari yang baik dan cantik, bidadari yang putih bersih bernama Aisha. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakan yang kamu dustakan?
Maka tiada henti menangis kepada Tuhan, merasa terlalu agung anugerah yang dilimpahkan oleh-Nya kepadaku yang lumpur hitam. Mengiba-iba kepadaNya kiranya anugerah ini bukan bentuk istidraj, bukan bentuk nikmat yang sejatinya azab. Dalam sujud tangis di keheningan malam kuisakkan seribu doa dari ratapan jiwa. Doa Adam, doa Ibrahim, doa Ayyub, doa Ya’qub, doa Daud, doa Sulaiman, doa Zakariya, doa Muhammad, doa seribu nabi, doa seribu wali, dan doa seribu sufi yang telah mereguk cinta hakiki dan melahirkan sejuta generasi rabbani.
* * *
Dua hari menjelang hari H, barulah teman-teman satu rumah aku beritahu. Semua urusan di KBRI sudah selesai. Mahar telah aku beli; seuntai kalung, sebuah cincin dan mushaf mahar. Aku juga telah membeli satu stel jas yang pantas. Aku meminta kepada teman-teman untuk mengundang teman-teman terdekat. Tak lebih dari empat puluh orang. Mohon kesediaan datang di acara akad nikah Jum’at depan, di masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq, Shubra El-Khaima.
Seperti biasa Rudi nyeletuk, “Nurul dkk. diundang nggak Mas?”
“Untuk akadnya tidak usah. Tapi walimahnya ya,” jawabku dengan tegas. Sebagai kabar gembira kuberitahukan pada teman-teman bahwa Bapak Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) secara khusus telah kuminta untuk menjadi saksi, dan beliau telah menyatakan kesediaannya. Aku juga minta pada teman-teman untuk mengundang dua ratus orang. Seratus lima puluh putera dan lima puluh puteri untuk datang di acara walimatul ‘ursy. Teman-teman satu rumah sepertinya masih tidak percaya pada apa yang aku kabarkan. Namun mereka mau tidak mau harus percaya sebab aku tidak pernah main-main untuk urusan serius.
Aku datangi rumah Tuan Boutros. Kosong.
Saiful bilang, saat aku dua hari tidak di rumah, Tuan Boutros sekeluarga pergi rekreasi ke Pantai Hurgada. Dua hari yang lalu aku memang sibuk di Nasr City membantu teman-teman Turki mempersiapkan segalanya. Aku merasa tidak lengkap jika sampai pesta walimatul ursy nanti keluarga Tuan Boutros tidak menyaksikan. Mereka adalah orang terdekat selama tiga tahun ini. Aku mencoba menghubungi nomor handphone Maria. Jawabannya, nomor yang anda hubungi sedang berada di luar area! Sedih! Aku minta pada Rudi agar terus mencoba menghubungi Maria, memberitahukan acara paling bersejarah dalam hidupku ini pada keluarganya. Mohon mereka bisa datang pada saat pesta walimah.
Yang aku belum bisa mengerti adalah di manakah nanti aku setelah menikah? Aku telah berusaha menyewa rumah di Hayyu Tsamin tapi Eqbal tidak mengizinkannya. Katanya rumahnya telah disiapkan oleh Aisha. Aku ingin tahu rumahnya di mana dan sewanya perbulan berapa, tapi dia juga tidak mau memberitahukannya, katanya biar surprise sesuai permintaan Aisha. Yang jelas, kata dia, rumah itu memang sangat layak untuk tinggal memadu kasih bersama Aisha. Aku pasrah saja, aku tidak meragukan ketulusan mereka.
Satu hari menjelang akad nikah Eqbal dan dua orang Turki datang dengan membawa mobil pick up. Dia bilang akan mengangkut barang-barangku untuk di tata di rumah baru. Aisha yang memintanya. Komputer, beberapa stel pakaian, dan puluhan jilid buku dan kitab penting diangkut. Aku tidak boleh ikut.
“Insya Allah, semuanya akan beres dan aman. Saat ini kau adalah raja yang tidak boleh susah. Kami berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian berdua. Dan jangan lupa selesai shalat Jum’at kau langsung ke rumahku di Maadi. Kita akan berangkat ke Shubra bersama,” kata Eqbal yang sebentar lagi harus kupanggil paman.
Ketika melihat kamarku yang berubah dan kehilangan banyak isinya aku menitikkan air mata. Waktu terus berjalan. Manusia tidak bisa menentang perubahan. Tak lama lagi aku akan meninggalkan kamar tercinta ini. Aku akan meninggalkan teman-teman dan membuka lembaran hidup baru bersama seorang isteri bernama Aisha.
berjalan di titian kodrat
(apa yang harus kita katakan)
jika berharap Dia menentukan
(Dipetik dari sajak berjudul ‘Tuhan dan Titahnya’ karya Fatin Hamama)
* * *
Ketika fajar Jum’at merekah di ufuk timur, aku berkata dalam hati, “Inilah hariku.” Tiada sabar rasanya menunggu ashar tiba. Matahari seperti diganduli malaikat. Hari terasa berat. Waktu sepertinya berjalan begitu lambat.
Usai shalat shubuh teman-teman telah bersiap. Mereka kubagi tugas. Rudi shalat Jum’at di Masjid Indonesia menjadi petunjuk jalan bagi Pak Atdikbud. Mishbah ke Wisma Nusantara menjadi petunjuk jalan bagi bus yang disediakan untuk teman-teman undangan. Jarak Nasr City-Shubra tidak dekat. Sedangkan Hamdi dan Saiful nanti begitu selesai shalat Jum’at langsung ke Shubra. Aku sendiri usai shalat Jum’at langsung ke rumah Eqbal Hakan Erbakan.
Pukul delapan tepat telpon berdering, kukira dari Eqbal. Ternyata tidak. Dari Ustadz Jalal. Katanya beliau dan isterinya telah sampai di mahattah metro Hadayek Helwan. Beliau datang untuk membicarakan masalah yang dulu pernah beliau pesankan melalui Nurul. Kuminta Saiful untuk menjemput Ustadz Jalal. Aku jadi merasa tidak enak tidak mengundang beliau secara langsung untuk menghadiri akad nikah. Kutanyakan pada teman-teman apakah undangan walimah untuk beliau sudah sampai. Tidak tahu, mungkin belum, sebab undangan itu dititipkan pada Mas Khalid. Dan rencananya Mas Khalid akan menyampaikannya usai shalat Jum’at nanti. Meskipun terkesan sangat mepet dan mendadak terpaksa nanti Ustadz Jalal akan kumohon untuk datang ke acara akad nikah.
Ustadz Jalal dan ustadzah Maemuna, isterinya, sampai dengan wajah cerah. Mereka datang cuma berdua, tidak membawa ketiga anak mereka.
“Mana keponakan-keponakanku Ustadz? Kenapa tidak dibawa serta?” tanyaku basa-basi.
Hamdi datang dengan nampan berisi tiga gelas teh Arousa panas dan satu piring roti bolu. Entah dapat bolu dari mana anak itu.
“Sekali-kali kami ingin bepergian berdua tanpa diganggu anak-anak. Biar bisa sedikit mesra. Pagi ini kami benar-benar menikmati perjalanan dengan metro. Dari Ramsis sampai Hadayek Helwan sepi, hawanya juga sejuk,” jawab Ustadz Jalal.
“Mereka ditinggal sendirian di rumah?” heranku.
“Tidak. Kebetulan Nurul dan teman-temannya usai shalat shubuh tadi datang ke rumah. Jadi mereka yang menjaga,” sahut Ustadzah Maemuna.
“O begitu, syukurlah. Ngomong-ngomong Ustadz dan Ustadzah menyempatkan untuk berkunjung kemari ada yang bisa saya bantu?” ucapku.
Ustadz Jalal memberi tahu ada masalah sangat penting dan rahasia yang ingin beliau bicarakan denganku. Beliau minta tempat yang aman. Kubawa beliau dan Ustadzah Maemuna ke dalam kamarku yang berantakan. Pintu kututup rapat.
“Kok berantakan begini. Komputermu dan kitab-kitabmu tidak ada. Mau pindahan nih, atau malah sedang pindahan?” komentar Ustadz Jalal.
“Nanti setelah masalah Ustadz selesai akan aku ceritakan, insya Allah. Silakan Ustadz bicara,” jawabku.
“Kami berdua datang kemari memohon bantuanmu menyelesaikan suatu masalah serius. Tidak masalah kami sebenarnya, tapi masalah seseorang yang dekat dengan kami. Dan yang paling tepat untuk kami minta pertolongan adalah engkau, Fahri. Kami sangat berharap engkau bisa membantu,” kata Ustadz Jalal.
“Kau saya diberi kemampuan untuk itu. Insya Allah. Masalah apa itu Ustadz?”
“Ini masalah serius yang mengancam jiwa Nurul?”
Mendengar hal itu pikiranku langsung tertuju pada buntut peristiwa Noura bersembunyi di rumah Nurul. Jangan-jangan Si Muka Dingin Bahadur tahu itu dan memperkarakannya, tapi kalau itu masalahnya kenapa diriku tidak ikut diperkarakan?.
“Bagaimana jiwa Nurul bisa terancam Ustadz? Apa yang terjadi padanya, dan apa yang bisa saya lakukan untuk membantunya?”
“Kau tahu Nurul adalah puteri tunggal Bapak KH. Ja’far Abdur Razaq, pengasuh pesantren besar di Jawa Timur. Selain cantik dia juga cerdas dan halus budi. Sejak masih kelas satu aliyah sudah banyak kiai besar yang melamar Nurul untuk puteranya. Nurul tidak mau. Ketika akhirnya Nurul belajar di Al Azhar pinangan itu justru semakin banyak. Kiai Ja’far ayah Nurul berkali-kali menelpon Nurul agar segera menentukan pilihan pendamping hidupnya. Beliau merasa sangat tidak enak menolak pinangan terus menerus. Apalagi jika pinangan itu datangnya jadi kiai yang lebih senior dari beliau atau dari guru beliau. Jika Nurul sudah tunangan atau menikah dengan seseorang yang dipilihnya tentu kedua orang tua Nurul akan lebih tenang. Dan jika berjumpa dengan para kiai-kiai di Jawa Timur tidak akan terbebani oleh sindiran-sindiran halus dari para kiai yang meminang puterinya. Dua bulan yang lalu ayahnya menelpon ada pinangan dari Kiai Rahmad untuk puteranya Gus Anwar. Kiai Rahmad ini adalah gurunya ayah Nurul waktu mondok di Bandar Kidul Kediri. Ayah Nurul tidak bisa menolaknya kecuali Nurul sudah memiliki seorang calon di Mesir. Jika tidak, maka Nurul terpaksa harus menerima pinangan itu. Inilah masalahnya.”
“Nurul sendiri bagaimana? Saya mendengar ada beberapa mahasiswa yang suka dengannya.”
“Memang ada beberapa mahasiswa yang mendekati dia secara baik-baik. Ada yang secara langsung. Ada juga yang lewat kami atau teman satu rumahnya. Tapi tak ada yang cocok di hatinya. Ternyata sejak dua tahun yang lalu diam-diam Nurul telah kagum dan jatuh hati pada seseorang. Tapi sayangnya Nurul tidak berani mengungkapkannya karena rasa malunya yang tinggi. Ia berharap orang yang dicintainya terbuka hatinya dengan dan meminangnya tapi sepertinya orang yang dicintainya tidak tahu kalau Nurul mencintainya. Rasa cinta Nurul padanya membuncah dan tak bisa dia sembunyikan sejak dua bulan yang lalu. Sejak ayahnya menelponnya untuk menerima Gus Anwar atau mencari calon sendiri di Mesir yang shalih. Saat itu dia menangis pada isteriku. Ia mengungkapkan seluruh isi hatinya. Ia minta kepada isteriku untuk membantunya. Isteriku memberi saran untuk berterus terang saja pada orang yang dicintainya itu. Tapi Nurul tidak mau, ia sangat malu. Nurul minta pada isteriku agar aku yang bicara dengan orang itu. Aku sangat sibuk sekali dan aku merasa tidak tepat untuk bicara pada orang yang dicintai Nurul itu. Akhirnya aku merasa aku perlu minta bantuanmu. Kau sangat dekat dengan orang itu. Sudah berkali-kali Nurul bertanya padaku bagaimana hasilnya. Aku tidak bisa menjawabnya. Sebab aku belum bertemu denganmu. Kau sibuk aku pun sibuk. Baru kali ini aku bisa bertemu denganmu. Aku sangat berharap kau bisa membantu.”
“Asal saya mampu, insya Allah Ustadz. Dia mahasiswi yang baik. Saya salut dan kagum padanya. Meskipun telah menjabat sebagai Ketua Wihdah tapi dia masih mau meluangkan waktu mengajar anak-anak baca Al-Qur’an di Masjid Indonsia. Dia juga orang yang mudah diminta tolong. Sangat kasihan memang kalau orang sebaik dia tidak mendapatkan apa yang dicintainya. Namanya orang kalau sudah cinta itu susah untuk tidak dipertemukan. Abu Bakar saja ketika ada seorang budak perempuan merana karena mencintai Muhammad bin Qasim bin Ja’far bin Abi Thalib hati beliau luluh. Beliau langsung menemui tuan pemilik budak itu dan membelinya, lalu mengirimnya ke Muhammad bin Qasim bin Ja’far bin Abi Thalib. Hal serupa juga dilakukan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Cinta memang tidak mudah. Orang Inggris bilang, Love is a sweet torment. Cinta adalah siksaan yang mengasyikkan. Tapi jika orang terus tersiksa karena cinta, ia bisa binasa seperti Laila dan Majnun. Kebinasaan paling tragis adalah yang disebabkan oleh cinta,” jawabku.
Ustadzah Maemuna menyahut,
“Dan kami tak ingin melihat Nurul binasa karena cintanya pada pujaan hatinya.”
“Memangnya rasa cinta Nurul sampai seperti itu?” heranku.
“Sejak dua bulan yang lalu. Sejak ia menangis di pangkuanku, Nurul sering menangis sendiri. Berkali-kali dia cerita padaku akan hal itu. Ia ingin sekali orang itu tahu bahwa dia sangat mencintainya, lalu orang itu membalas cintanya dan langsung melaksanakan sunnah Rasulillah. Nurul anti pacaran. Tapi rasa cinta di dalam hati siapa bisa mencegahnya. Aku tahu benar Nurul siap berkorban apa saja untuk kebaikan orang yang dicintainya itu. Bantulah kami membuka hati orang itu?” kata Ustadzah Maemuna.
“Insya Allah. Saya paling tak tahan melihat seseorang tersiksa batinnya. Jadi siapakah orang yang sangat beruntung itu, orang yang dipuja dan dicintai gadis shalihah seperti Nurul?” tukasku tenang. Dalam hati aku merasa bersyukur bahwa aku mendapatkan seorang biadadari yang kucintai tanpa harus melalaui siksaan batin serumit Nurul. Tenyata menjadi seorang gadis tidak semudah menjadi seorang pemuda.
“Kau sangat mengenalnya kuharap kau tidak kaget mendengar namanya kusebut,” kata Ustadz Jalal.
“Santai saja Ustadz, insya Allah saya akan biasa saja,” jawabku santai.
“Orang yang dicintai Nurul, yang namanya selalu dia sebut dalam doa-doanya, yang membuat dirinya satu minggu ini tidak bisa tidur entah kenapa, adalah FAHRI BIN ABDULLAH SHIDDIQ!”
Mendengar namaku yang disebut aku bagaikan mendengar gelegar petir menyambar telingaku. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar dari lisan ustadz Jalal.
“Siapa Ustadz, mungkin ustadz salah ucap?” tanyaku meyakinkan apa yang aku dengar.
“Aku tidak salah ucap Fahri. Kaulah orangnya. Nurul sangat mencintaimu. Berkali-kali dia bicara denganmu langsung atau lewat telpon tapi dia tidak berani mengatakan itu. Dan sudah berkali-kali dia minta kami menemuimu mengungkapkan isi hatinya padamu, tapi baru kali ini aku sempat. Bagaimana Fahri kau bisa membantu Nurul bukan?”
Aku meneteskan air mata. Tetesan itu makin lama makin deras. Akupun tergugu. Kenapa jalan takdirnya seperti ini? Kenapa berita yang sebenarnya sangat membahagiakan hatiku ini datang terlambat. Satu-satu nama seorang gadis yang bila kudengar hatiku bergetar adalah Nurul. Nurul Azkiya. Berita yang seharusnya membuat hatiku berbunga-bunga itu kini justru membuat hatiku terasa pilu. Dalam hati aku menyumpahi kebiasaan buruk orang Jawa. Alon-alon waton kelakon! Jadinya selalu terlambat. Jika dua bulan yang lalu Nurul mengucapkan tiga kata saja: maukah kamu menikahi aku? Tak akan ada kepedihan ini. Sejak bertemu muka dengan Aisha hatiku sepenuhnya dipenuhi rasa cinta kepadanya. Dan beberapa jam lagi ikatan suci yang menyatukan cinta kami akan terjadi, insya Allah.
Dengan terisak-isak kukatakan pada Ustadz Jalal dan Ustadzah Maemunah, “Oh, andaikan waktu bisa diputar kembali. It is no use crying over spilt milk . Tak ada gunanya menangisi susu yang telah tumpah!”
Lalu kucoba menenangkan diri dan kujelaskan semuanya yang telah terjadi atas diriku. Aku tak bisa menyembunyikan tangisku saat menceritakan semuanya. Pertemuan dengan Aisha di Metro, diskusi dengan Alicia, tawaran Syaikh Utsman, pertemuan dengan Aisha dan keluarganya, sampai rencana akad nikah dan walimah yang tinggal menunggu jam D nya.
“Apa yang bisa aku lakukan untuk Nurul Ustadz, apa. Seandainya Ustadz jadi diriku apa yang bisa Ustadz lakukan?” kataku sambil tergugu, hatiku merasa pilu. Seandainya Nurul dan Aisha datang bersamaan, aku tak perlu istikharah untuk memilih Nurul. Aku lebih mengenal Nurul daripada Aisha. Tapi siapa bisa menarik mundur waktu yang telah berjalan.
Ustadz Jalal dan Ustadzah Maemuna menangis terisak-isak. Ustadz Jalal merasa sangat menyesal dan sangat bersalah pada Nurul. Sudah berkali-kali Nurul mendesaknya untuk menemui aku dan menjelaskan masalah itu tapi Ustadz Jalal selalu mengulur waktu karena konsentrasi memperbaiki disertasi doktoralnya. Yang ia sesalkan adalah kenapa beliau tidak menyempatkan sepuluh menit saja untuk meneleponku memberikan sekadar isyarat ada seorang yang mencintaiku. Ustadzah Maemuna menangis tersedu-sedu, ia tak bisa membayangkan pilunya hati Nurul. Hanya karena sebuah keterlambatan sesuatu yang paling berharga bagi jiwanya tidak ia dapatkan.
Dalam tangisku aku merasa masalah Nurul ini adalah cobaan besar bagi komitmenku atas semua kata-kataku di rumah Syaikh Utsman. Cobaan atas cinta dan kesetiaanku pada Aisha. Bisa saja aku nekad membatalkan kesepakatan dan semua rencana yang telah ditetapkan seperti dalam film India. Akad Nikah toh belum terjadi. Mahar belum aku bayarkan. Aku juga sama sekali belum pernah menyentuh Aisha. Melihat wajahnya juga baru satu kali. Tapi jika aku melakukan hal itu, namaku akan ditulis dengan lumpur hitam berbau busuk oleh sejarah. Aku akan menjadi orang munafik paling menyakitkan hati orang-orang yang kucintai dan kuhormati seperti Syaikh Utsman, Ummu Fathi, Eqbal Hakan Erbakan dan isterinya, dan tentunya paling sakit dan terzalimi adalah Aisha. Kemudian seluruh mahasiswa Turki di Mesir akan melaknat perbuatanku. Dan kelak ketika aku berjumpa dengan Baginda Nabi beliau akan murka padaku karena aku telah menyakiti perasaan sekian banyak umatnya. Aku tak mau itu terjadi. Lebih dari itu aku tidak tahu seberapa panjang umurku ini. Jika aku membatalkan pernikahan yang telah dirancang matang, aku tidak tahu apakah Allah masih akan memberikan kesempatan padaku untuk mengikuti sunnah Rasul. Ataukah aku justru tidak akan punya kesempatan menyempurnakan separo agama sama sekali. Tidak selamanya perasaan harus dituruti. Akal sehat adalah juga wahyu Ilahi.
Silakan lanjutkan baca di novelnya, Ayat-ayat Cinta, Novel Pembangun Jiwa Bab XVII
Image: Google
Komentar
Posting Komentar