Ikatan Suci | Kutipan Bab XVII Novel Ayat-ayat Cinta

Ikatan Suci | Kutipan Bab XVII Novel Ayat-ayat Cinta--
Lanjutan dari Bab XVI Apa yang terjadi antara diriku dan Nurul adalah tragedi yang sangat memilukan. Aku tak memungkiri, di dalam taksi selama perjalanan menuju rumah Eqbal Hakan Erbakan, hatiku menangis. Aku ini siapa? Nurul sungguh terlalu. Apakah dia bukan orang Jawa? Aku ini orang Jawa. Di Jawa, seorang khadim kiai dan batur santri, anak petani kere, mana mungkin berani mendongakkan kepala apalagi mengutarakan cinta pada seorang puteri kiai. Dia sungguh terlalu menunggu hal itu terjadi padaku. Semestinya dialah yang harus mengulurkan tangannya. Dia sungguh terlalu berulang kali ketemu tidak sekalipun mengungkapkan perasaannya yang mungkin hanya membutuhkan waktu satu menit. Atau kalau malu hanya dengan beberapa baris tulisan tangannya tragedi ini tidak akan terjadi. Menyatakan cinta untuk menikah di jalan Allah bukanlah suatu perbuatan tercela. Dia sungguh terlalu. Tapi dia tidak keliru. Dia telah menempuh jalan yang benar. Dia benar-benar gadis shalihah yang pemalu. Yang terlalu sesungguhnya adalah Ustadz Jalal dan Ustadzah Maemuna. Mereka berdua sungguh terlalu. Atau justru aku yang terlalu dan begitu dungu.

rinai tangis dalam hatiku
bagai rintik hujan di kota
apa gerangan makna lesu
yang menyusup masuk kalbuku? (Dari penggalan puisi “Lagu Hujan” karya penyair Perancis Paul Verlaine (1844-1896) terdapat dalam Puisi Dunia, Balai Pustaka, 1952, hal. 88).

Sampai di halaman rumah Eqbal aku melihat tiga mobil mewah berjajar. Rumahnya ada di lantai tiga sebuah villa mewah tak jauh dari KFC Maadi. Sebelum masuk kuhapus air mata, kutata hati dan jiwa. Aku berusaha tersenyum. Aku disambut hangat oleh Eqbal dan tiga lelaki Turki. Rumahnya tidak terlalu ramai. Eqbal memperkenalkan tiga lelaki Turki yang berpakaian rapi itu.
“Ini Ismael Akhtar, Ketua Umum Persatuan Mahasiswa Turki di Mesir, ini sekjennya Ali Naar, sedangkan ini yang baru tiba dari Turki tadi pagi adalah calon pamanmu Akbar Ali Faroughi, adik kandung ibunya Aisha.”

Akbar Ali yang gagah itu memelukku erat dan berbisik, “Senang memiliki keponakan seperti dirimu. Aisha sudah banyak bercerita tentangmu padaku. Selamat datang di keluarga besar Ali Faroughi.”

Di ruang tamu itu kami berbincang-bincang sambil menunggu Aisha yang sedang berdandan. Akbar Ali menceritakan silsilah keluarga besarnya agar aku tahu jelasnya. Ali Faroughi ayahnya dan juga kakek Aisha adalah asli Turki. Beliau lahir di kota Izmir dari keluarga pedagang kain. Lulus sekolah menengah langsung diminta ayahnya merantau ke Istambul dan membuka toko kain di sana. Beliau menuruti anjuran ayahnya. Bakat bisnisnya luar biasa besar. Tokonya maju pesat sampai akhirnya bisa membuat pabrik tekstil kecil-kecilan. Akhir tahun 1948 beliau menikah di Yordan dengan seorang gadis pengungsi Palestina sebatang kara yang seluruh keluarganya telah tewas dibantai Israel dan harta kekayaannya juga dirampas. Gadis Palestina itu beliau bawa ke Istanbul. Enam tahun kemudian, yaitu tahun 1954, lahirlah anak mereka yang pertama diberi nama Alia Ali Faroughi. Alia itulah ibu kandung Aisha. Empat tahun kemudian lahirlah Akbar Ali Faroughi dan jauh setelah itu, lima bekas tahun kemudian baru lahir Sarah Ali Faroughi yang sekarang menikah dengan Eqbal Hakan Erbakan. Ali Faroughi adalah pengikut setia Al-Imam Asy-Syaikh Al-Mujaddid Badiuz Zaman Sa’id An-Nursi. Ali Faroughi wafat pada tahun 1993 pada usia 73 tahun, meninggalkan tiga buah perusahaan besar. Di antara ketiga anaknya itu yang paling cerdas dan ulet adalah Alia. Dia selalu terbaik di sekolah menengah. Dia dokter terbaik lulusan Istanbul University tahun 1976 dan langsung mendapat beasiswa ke Jerman tahun itu juga. Di Jerman Alia mengambil spesialis jantung. Setelah tiga tahun di Jerman ia menikah dengan seorang muallaf Jerman namanya Rudolf Greimas, seorang pemilik swalayan. Tahun 1981 Aisha lahir. Dan tahun 1982 Alia memperoleh gelar doktornya dengan predikat summa cumlaude dan mengambil keputusan untuk tinggal dan bekerja di Jerman. Yang menyedihkan tujuh tahun yang lalu, Alia tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di sebuah jalur cepat yang berada pinggir kota Munchen, meninggalkan Aisha yang masih belia. Aku baru tahu sebenarnya Aisha telah lama kehilangan seorang ibu.
Kira-kira setengah jam sebelum azan ashar berkumandang, Sarah Ali Faroughi, memberi tahu semuanya telah siap. Aku minta tolong pada Eqbal agar bisa melihat wajah Aisha sebelum berangkat. Aku ingin mengisi kembali energi cintaku. Aku ingin menghilangkan segala galau dan melenyapkan segala pilu yang masih terasa menyelimuti hatiku. Aku tak mau tragedi Nurul menorehkan noda dalam hatiku. Aku harus melihat wajah Aisha yang sinarnya akan menerangi semua kisi dan relung hatiku. Kesejukannya akan menyiram jiwaku.

Eqbal tersenyum padaku dan menarik lenganku. Dia membawaku masuk ke sebuah kamar di sana hanya ada tiga perempuan Turki semuanya telah memaki cadar. Eqbal minta agar Aisha membuka cadarnya. Seorang perempuan yang memakai abaya paling indah perlahan membuka cadar kuning keemasannya. Perlahan wajah yang bercahaya itu tampak dan tersenyum padaku. Aku memandangnya lekat-lekat. Aku tersihir oleh pesonanya. Tanpa sadar hatiku bertasbih dan berpuisi:
alangkah manis gadis ini
bukan main elok dan ayu
calon isteriku
matanya berbinar-binar
alangkah indahnya

Setelah kurasa cukup, aku meminta Aisha memakai kembali cadarnya. Kami pun berangkat dengan menggunakan tiga sedan Mercy. Aku bersama Eqbal dan isterinya. Aisha bersama pamannya Akbar dan isterinya. Ketua Persatuan Mahasiswa Turki bersama sekjennya. Selama dalam perjalanan aku lebih banyak mengucapkan istighfar. Aku berharap saat ini keluarga di Indonesia mengirimkan selaksa doa untukku. Mereka sudah aku beri tahu detik-detik ini aku akan membuka lembaran hidup baru. Dalam perjalanan sempat aku keluarkan pertanyaan yang mengganjal pada Eqbal, “Ayah Aisha, Tuan Rudolf Greimas, bukankah masih hidup. Apakah beliau akan datang?”
“Beliau memang masih hidup tapi tidak akan datang dan Aisha juga tidak terlalu menginginkan dia datang. Yang jelas dia sudah tahu puterinya akan menikah dengan mahasiswa Indonesia. Tentang Rudolf Greimas nanti tanyakanlah sendiri pada Aisha, kenapa sampai dia tidak mengharapkan kedatangannya,” jawab Eqbal Hakan.
* * *

Tepat saat adzan ashar berkumandang kami sampai di masjid tempat akad nikah akan dilangsungkan. Sudah banyak teman-teman mahasiswa Indonesia dan mahasiswa Turki yang sampai di sana. Aisha dan dua bibinya langsung menuju lantai dua tempat jamaah wanita. Aku menyalami teman-teman. Mereka semua tersenyum dan mengucapkan selamat padaku. Usai shalat ashar acara akad nikah dimulai.

Acara dilangsungkan di depan mihrab masjid. Syaikh Ustman, Syaikh Prof.Dr. Abdul Ghafur Ja’far, Bapak Atdikbud, Eqbal Hakan Erbakan, Akbar Ali dan beberapa syaikh Mesir yang diundang Syaikh Ustman duduk dengan khidmat tepat di depan mihrab menghadap ke arah jamaah dan hadirin yang memenuhi masjid. Rupanya saat shalat Jum’at tadi telah diumumkan akan ada acara akad nikah antara mahasiswa Indonesia dan muslimah Turki, sehingga orang Mesir yang ada di sekitar masjid penasaran dan masjidpun penuh. Aku duduk di sebelah kanan Akbar Ali. Di barisan depan hadirin tampak ketua PPMI dan pengurusnya, teman-teman satu rumah, Syaikh Ahmad Taqiyyuddin, teman-teman Mesir di program pasca dan Bapak M. Saeful Anam dari bagian Konsuler KBRI yang akan mencatat kejadian penting ini untuk mengeluarkan surat nikah resmi. Rudi yang paling suka pegang tustel sibuk membidikkan kameranya. Dua orang mahasiswa Turki juga sibuk mengabdikan peristiwa bersejarah ini dengan handycam dan kamera.

Yang menjadi pembawa acara adalah Ismael Akhtar, Ketua Umum Persatuan Mahasiswa Turki di Mesir. Bahasa Arab fushanya indah. Acara dibuka dengan basmalah dan pembacaan kalam Ilahi. Lalu sambutan singkat dari keluarga mempelai perempuan yang disampaikan Eqbal. Sambutan singkat dari keluarga mempelai pria oleh Syaikh Utsman. Barulah akad nikah. Pihak wali perempuan mewakilkan Syaikh Prof. Dr. Abdul Ghafur Ja’far untuk menikahkan Aisha.

Syaikh Abdul Ghafur Ja’far, yang tak lain adalah pembimbingku menulis tesis itu maju dan duduk di tengah lingkaran. Akbar Ali dan Eqbal Hakan menuntunku maju dan duduk di hadapan Syaikh. Mereka berdua mendampingku. Pak Atdikbud juga maju, duduk di samping Syaikh sebagai saksi. Ismael Akhtar juga maju sebagai saksi. Saiful ikut maju membawakan mahar. Aku sempat melirik ke lantai dua. Aisha dan kedua bibinya serta ratusan muslimah di sana memandang ke bawah. Ke arah prosesi sakral ini dilangsungkan.

Sebelum memulai mengakad Syaikh Abdul Ghafur meminta kepada semua hadirin untuk beristighfar, mensucikan hati dan jiwa. Lalu meminta kepada semuanya untuk bersama-sama membaca dua kalimat syahadat. Aku meneteskan air mata, hatiku basah. Aku belum pernah merasakan suasana sedemikian sakralnya. Syaikh Abdul Ghafur menjabat tanganku erat, lalu mewakili wali menikahkan diriku dengan Aisha. Dan dengan suara terbata-bata namun jelas aku menjawab dengan penuh kemantapan hati:
“Qabiltu nikahaha wa tazwijaha bi mahril madzkur, ala manhaji kitabillah wa sunnati Rasulillah! Aku terima nikah dan kawin dia (Aisha binti Rudolf Kremas) dengan mahar yang telah disebut, di atas manhaj kitab Allah dan sunnah Rasulullah!”
Spontan dari lantai dua terdengar wanita-wanita Mesir melantunkan zaghrudah (Siulan khas wanita Arab sebagai ungkapan kegembiraan) yang melengking indah. Dan Syaikh Abdul Ghafur membimbing seluruh hadirin untuk mengucapkan doa yeng telah diajarkan oleh Rasulullah Saw.:
“Baralallahu laka wa baraka alaika wa jama’a bainakuma fi khair!” (Semoga berkah Allah tetap untukmu, dan semoga berkah Allah tetap ke atasmu dan semoga Allah mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan. (Hadits diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Abu Daud, dan Ahmad)

Masjid pun berdengung-dengung oleh doa seluruh hadirin. Hatiku terasa sejuk sekali. Air mataku terus melelah tiada henti. Aku tiada henti mengucapkan hamdalah dalam hati. Setelah itu disambung khutbah nikah yang dibawakan Syaikh Ahmad. Khutbah yang singkat, padat, namun membuat hatiku bergetar hebat. Diakhiri dengan doa yang dipimpin Syaikh Utsman, doa yang membuat diriku lebur dalam keagungan tanda-tanda kekuasaan Tuhan.

Selesai doa, Syaikh Utsman membimbing hadirin untuk melantunkan thalaal badru, lagu kebahagiaan yang dinyanyikan kaum Anshar saat menyambut kedatangan Nabi Muhammad Saw. dan Abu Bakar Ash-Shiddiq di madinah setelah menempuh perjalanan hijrah yang panjang dan melelahkan. Para hadirin berdiri, menyalami dan merangkulku satu persatu sambil membisikkan doa barakah diiringi lantunan thalaal badru. Gerimis di hatiku tidak mau berhenti. Air mata terus saja meleleh. Aku kini telah memiliki seorang isteri. Subhanallah, wal hamdulillah, wa laa ilaaha illallah, Allahu akbar!
* * *

Seperti kesepakatan setelah akad nikah kami tidak langsung zafaf. Malam zafaf adalah setelah walimah. Dua hari lagi. Sampai rumah teman-teman menggodaku habis-habisan. Aku tanyakan pada mereka apa sudah bisa menghubungi keluarga Tuan Boutros. Belum bisa. Tidak enak rasanya jika mereka tidak menghadiri walimah nanti. Meskipun berbeda agama mereka sudah seperti keluarga sendiri.

Pukul dua belas malam teman-teman sudah tidur. Tapi aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Aku ingat banyak hal. Aku menelusuri kembali perjalanan hidupku. Sejak masih SD, jualan tape. Lalu masuk pesantren menjadi khadim Romo Kiai sambil melanjutkan sekolah di Tsanawiyah dan Aliyah milik pesantren. Dan akhirnya dengan susah payah bisa sampai Mesir. Aku menangis sendiri ditemani sepi.
Tiba-tiba handphone-ku berdering. Kulihat ada yang memanggil. Aisha! Hatiku berdegup kencang. Aku menyeka air mata dan menata perasaan. Kuangkat:
“Fahri?”
“Ya.”
“Kasihku, aku yakin kau belum tidur. Kau tidak bisa tidur. Kau pasti sedang memikirkan aku. Ya ‘kan?” Dan klik. Diputus. Aku belum sempat menjawab.
Aku gemes sekali padanya. Pada Aisha. Ia menggodaku. Kukirim sms padanya. Sebab jika kutelpon takut tidak dia angkat. Percuma.
“Aisha, aku sangat merindukanmu.” Tulisku.
“Aku sudah tahu. Bersabarlah. Allah mencintai orang-orang yang bersabar.” Jawab Aisha. Aku menghela nafas panjang. Aku ingin shalat malam.
* * *

Pagi hari, usai shalat shubuh, di masjid Al Fath Al Islami, seluruh jamaah yang mengenalku mengucapkan selamat. Rupanya Syaikh Ahmad telah memberi tahu mereka. Dan Syaikh Ahmad mengajakku ke kamarnya di belakang mihrab. Beliau memberikan kabar bahagia mengenai Noura.

Alhamdulillah kebenaran itu terkuat juga. Dari tes DNA, gen Noura tidak sama dengan gen Si Muka Dingin Bahadur dan isterinya yaitu Madame Syaima. Gen Noura justru sama dengan milik suami isteri bernama Tuan Adel dan Madame Yasmin yang kini jadi dosen di Ains Syam University yang saat itu melahirkan bayinya bersamaan harinya dengan Madame Syaima. Dan Nadia gadis yang selama ini mereka besarkan dengan penuh kasih sayang sama gennya dengan Si Muka Dingin Bahadur dan Madame Syaima. Dua bayi itu tertukar. Noura memang mirip sekali dengan Madame Yasmin dan Si Nadia mirip dengan Madame Syaima. Mereka telah menemukan orang tua masih-masing. Noura bahagia dan Nadia nelangsa. Untungnya Tuan Adel dan Madame Yasmin tetap meminta Nadia tinggal bersama mereka. Sebab Nadia telah dianggap sebagai anaknya sendiri. Si Muka Dingin Bahadur sedang diproses atas segala kejahatannya. Mendengar kabar bahagia itu aku merasa sangat bahagia. Gadis innocent yang lembut itu akhirnya benar-benar menemukan taman kebahagiaan yang selama ini hilang.

Usai dari masjid aku mengajak musyawarah teman-teman satu rumah. Tak lama lagi aku akan meninggalkan mereka. Iuran sewa rumah bulan depan aku bayar sekalian. Jadi mereka tidak bertambah beban meskipun aku tidak lagi satu rumah dengan mereka. Namun aku minta tolong kepada mereka agar bulan berikutnya sudah ada yang menggantikan aku. Teman-teman rela melepaskan aku dan mendoakan semoga hidup bahagia. Mereka minta agar aku tidak segan dan masih sering main ke Hadayek Helwan. Mereka bertanya aku akan tinggal di mana. Aku menjawab, “Belum tahu. Semua yang mengurus isteri tercinta!” Kontan mereka menyahut bareng, “Enaknya punya isteri gadis Turki yang shalehah seperti Aisha!” Aku tersenyum mendengarnya.

Pukul sembilan Paman Eqbal—setelah akad nikah aku harus memanggilnya paman—dan tiga mahasiswa Turki datang kembali dengan pick up. Hendak mengangkut semua barangku yang tersisa. Dia belum juga mau mengatakan rumah yang akan kami tempati itu di mana. “Nanti kau akan tahu juga!” jawabnya enteng.

Hari berikutnya adalah pesta walimatul ursy di Darul Munasabat Masjid Rab’ah El-Adawea, Nasr City. Sejak ashar aku telah berada di rumah mahasiswa Turki yang telah berkeluarga di Hadidar Toni Street. Namanya Subhan Tibi. Isterinya bernama Laila Belardi. Mereka teman baik Paman Eqbal dan Bibi Sarah. Di rumah mereka yang letaknya kira-kira satu kilometer dari lokasi walimah, aku dan Aisha dirias ala pengantin Turki. Aisha benar-benar seperti bidadari. Tapi elok wajahnya tersembunyi di balik cadar tipis keemasan. Dan inilah untuk pertama kali kami duduk bersanding di dalam mobil mewah. Selama dalam perjalanan menuju tempat walimah aku tak berani menyentuhnya. Kelihatannya Aisha gemes melihat ketidakberanianku. Ia meletakkan tangannya di atas telapak tanganku. Dengan ragu-ragu aku memegang tangannya. Dan hatiku berdesir hebat. Itulah untuk pertama kalinya aku memegang tangan halus seorang gadis.

Pesta walimah sangat meriah. Di mulai tepat setelah ashar. Ada panggung di depan. Tempat lelaki dan wanita di pisah dengan satir. Pengantin lelaki berbaur dengan undangan lelaki dan pengantin wanita berbaur bersama pengantin wanita. Panggung yang indah itu rupanya untuk hiburan. Tim Shalawat Turki menunjukkan kebolehannya. Juga tim nasyid Indonesia. Ada juga pantomim, sumbangan dari teman-teman KSW. Tadzkirah di sampaikan oleh Dr. Akram Ridha, pakar psikologi yang juga seorang dai terkemuka di Kairo. Semua berjalan dengan sangat mengesan bagi siapa saja yang hadir malam itu.
Setelah acara berakhir, dan tamu undangan telah banyak yang pulang, Paman Eqbal membawaku ke tempat pengantin wanita. Di sana ternyata ada pelaminan yang telah dihias indah. Aisha sudah duduk manis duduk di sana. Aku diminta untuk duduk di sampingnya untuk diabadikan dalam foto dan video.

Aisha minta dipangku dan disuapi kue. Lalu minta dibopong dan digendong. Ia juga minta difoto dalam gaya-gaya dansa. Ada-ada saja. Ia sangat mesra dan manja. Tapi ia sangat tahu menjaga diri, ia tidak minta dicium saat itu. Kemesraan kami yang tak lama itu tidak ada yang melihat kecuali beberapa muslimah, Paman Eqbal dan Paman Akbar Ali. Saat adzan maghrib berkumandang dari menara masjid. Aku dan Aisha telah berada di dalam Limousin meluncur menuju tempat untuk malam zafaf. Menjadi sopir kami adalah Paman Eqbal Hakan Erbakan, isterinya Sarah duduk disampingnya dengan si kecil Hasan di pangkuannya. Di belakang kami mobil Paman Akbar Ali membuntuti. Ia bersama isterinya dan si kecil Amena. Selama dalam perjalanan kami diam tanpa bicara apa-apa namun tangan kami erat berpegangan.

Mobil kami terus melaju. Lampu-lampu telah menyala seperti bintang-bintang. Langit merah bersemburat indah. Mobil melaju diatas jalan layang yang membelah Ramsis. Terus ke Barat. Apakah Paman Eqbal akan membawa kami ke hotel? Aku tidak tahu. Semua mahasiswa Indonesia yang menikah di Cairo tidak ada yang menghabiskan malam pertama di hotel. Semuanya menghabiskan malam pertama di rumah kontrakan yang sederhana. Di depan sudah tampak sungai Nile. Kami melewati Ramses Hilton. Mobil terus melaju. Aisha menyandarkan kepalanya di pundakku. Aku merasakan suasana yang sangat indah. Kami berada di atas Jembatan 6th Oktober yang menyeberangi sungai Nil. Restauran dan nigh club terapung telah menyalakan lampunya. Di depan sana agak ke selatan di tengah daratan seperti pulau di tengah sungai Nil tampak Cairo Tower menjulang tinggi. Daratan yang dikelilingi sungai Nile itu disebut daerah El-Zamalik. Kawasan yang sangat elite dan indah. Eqbal membelokkan mobil dan turun dari jembatan ke El-Gezira Street. Kami berada di daerah El-Zamalik. Mobil terus berjalan ke utara menyusuri pinggir sungai Nil. Melewati Cairo Marriot Hotel. Melewati Kedutaan Swedia. Akhirnya sampai di Muhamad Mazhar Steet. Di sebuah gedung bertingkat dua belas yang berada tepat di pinggir sungai Nile kami berhenti.
Paman Eqbal membawa kami masuk. Di dalam gedung dekat tangga naik dan lift ada dua penjaga berdasi dan membawa senapan otomatis. Paman Eqbal berbincang dengan mereka sebentar lalu menarik lenganku.

“Ini saudara saya, Fahri Abdullah dari Indonesia, dia nanti yang akan menempati flat nomor 21 bersama isterinya. Mereka berdua akan menggantikan Mr. Edward Minnich yang telah pindah bulan yang lalu.”Kata Paman Eqbal memperkenalkan diriku. Dua penjaga itu tersenyum dan menjabat tanganku sambil berkata, “Selamat datang di apartemen ini pengantin baru!” Penampilanku dan Aisha memang mudah sekali ditebak.
Kami lalu masuk lift dan naik ke lantai tujuh. Tiap lantai ada tiga flat. Flat nomor, 19, 20 dan 21 berada dalam satu lantai. Paman Eqbal membuka pintu flat nomor 21. Kami masuk. Paman Eqbal menyalakan lampu. Dan tampaklah sebuah ruangan tamu yang mewah. Lebih mewah dari rumah Bapak Atase Pendidikan di Dokki. Kami duduk di sofa yang empuk. Tak lama kemudian Paman Akbar Ali dan isterinya masuk. Mereka langsung duduk.
“Gimana pengantin baru, kalian sudah siap?” tanya Paman Eqbal sambil tersenyum.
Aku diam tidak menjawab kecuali dengan senyum.
“Baiklah Fahri, kau berbahagialah malam ini bersama isterimu. Kami tidak akan lama-lama di sini. Ini kuncinya peganglah. Dua penjaga itu yang hitam namanya Hosam dan yang kuning namanya Magdi. Kau sudah lama di Mesir jadi kau tidak akan asing berada di sini. Jika ada apa-apa telpon aku. Kami pamit dulu. Semoga umur kalian penuh berkah.” Pamit Paman Eqbal sambil berdiri dari duduknya.

“Aisha dan kau Fahri, kami juga pamit. Malam ini juga kami akan terbang ke Istanbul. Sudah tiga hari kami di sini. Nanti kalau ada waktu kami akan mengunjungi kalian,” kata Akbar Ali Faraughi, paman Aisha. Aisha memeluk pamannya dengan mata berkaca-kaca. Lalu gantian aku memeluknya, dan dia berbisik, “Jaga dia baik-baik Fahri, aku percaya padamu!”
“Insya Allah, paman. Doanya. Salam buat seluruh keluarga di Turki.” jawabku. Kulihat Aisha lalu berpelukan dengan Elena Hashim, isteri Akbar Ali. Setekah itu ia memeluk bibinya, Sarah Ali Faraughi dengan tangis pecah.
“Aisha kau sudah hidup di dunia baru. Kuatkanlah dirimu dengan takwa. Minta tolonglah kepada Allah dengan shalat dan kesabaran. Dan layanilah suamimu dengan sebaik-baiknya. Ridha suamimu adalah surgamu,” suara Bibi Sarah terdengar parau.
Mereka lalu beranjak keluar. Satu persatu meninggalkan pintu. Kami mengantar sampai di pintu. Terakhir Paman Eqbal memeluk diriku sambil berkata, “Fahri, kau tentu ingat pelajaran hadits di kuliah, Rasulullah bersabda, ‘Orang pilihan di antara kalian adalah yang paling berbuat baik kepada perempuan (isteri)nya.’ Kumohon, muliakanlah isterimu. Bawalah dia hidup di jalan yang diridhai Allah!’
“Insya Allah, doakanlah kami,” jawabku.
Tak lama kemudian mereka hilang di telah pintu lift. Kami masuk kembali ke dalam flat dan menutup pintu.
* * *

Mereka telah pergi meninggalkan kami berdua. Kami salah tingkah. Wajah Aisha merona. Tubuhku panas dingin. Kami merasa sama-sama canggung mau berbuat apa. Tapi kami merasa itulah indahnya.
“Kita belum shalat maghrib,” lirih Aisha. Ia masih berdiri tak jauh di depanku dengan wajah menunduk. Aku tersadar, waktu sudah mepet, aku harus segera memberanikan diri melakukan sesuatu. Ada sunnah Rasulullah yang harus aku amalkan ketika untuk pertama kalinya berada dalam satu kamar atau satu rumah dengan pengantinku. Aku bergerak mendekati Aisha dan menggamit tangannya.
“Kamar kita di mana, Sayang?” tanyaku pelanku.
“Sini,” jawab Aisha sambil melangkah ke sebuah kamar.

Pintu kubuka. Gelap. Lampu kunyalakan, tampaklah kamar pengantin yang berhias indah, wangi dan sangat romantis. Kuajak Aisha duduk di ranjang. Aku membaca basmalah dengan segenap penghayatan akan ke-MahaRahman-an dan ke-Maharahim-an Allah. Lalu kupegang ubun-ubun kepala Aisha dengan penuh kasih sayang sambil berdoa seperti yang diajarkan baginda Nabi,
“Allaahumma, inni asaluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha, wa a’udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha! Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya. Dan aku mohon perlindungan-Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya. Amin.” (Sebagaimana terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Ibnu Majah, Abu Daud, dan Ibnu Sinni.)

Kulihat Aisha memejamkan kedua matanya dan dari mulutnya terdengar amin..amin..amin, berkali-kali. Ia sudah mengerti bagaimana memasuki malam zafaf agar pernikahan penuh berkah. Setelah itu kulanjutkan dengan doa yang diriwayatkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkaar,
“Baarakallaahu likulli waahidin minna fi shaahibihi. Semoga Allah membarakahi masing-masing di antara kita terhadap teman hidupnya.”

Lalu kukecup ubun-ubunnya sambil menangis dan mengulang doa itu berkali-kali. Aisha terus mengucapkan amin..amin..amin, dengan air mata meleleh di pipinya.
Barulah kuajak Aisha untuk mengambil air wudhu dan shalat maghrib berjamaah. Setelah shalat maghrib membaca dzikir, shalat sunnah ba’diyah, membaca wirid dan doa rabithah. Menjelang Isya kuajak Aisha untuk shalat sunnah bersama sebagaimana dilakukan salafush shalih, agar pernikahan kami ini penuh barakah. Selesai shalat aku membaca doa sebagaimana diajarkan baginda nabi dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud,
“Allaahumma baarik li fi ahli, wa baarik lahum fiyya. Allaahumma ijma’ bainana ma jama’ta bikhair, wa farriq bainana idza farraqta ila khair. Ya Allah, barakahilah bagiku dalam keluargaku, dan berilah barakah mereka kepadaku. Ya Allah, kumpulkan antara kami apa yang engkau kumpulkan dengan kebaikan, dan pisahkan antara kami jika engkau memisahkan menuju kebaikan. Amin.”
Di belakangku Aisha khusyu mengucapkan amin..amin..amin, kabulkan ya Allah, kabulkan ya Allah, kabulkan ya Allah, dengan rahmat dan kasih-Mu.

Usai shalat dan berdoa aku berbalik menghadap Aisha, aku hendak mengelus kepalanya. Aisha malah mencium tanganku sambil terisak-isak. Adzan Isya berkumandang. Kupegang kepala Aisha dengan kedua tanganku. Kupandangi lekat-lekat wajahnya yang jelita. Kuseka air mata yang melelah di pipinya.
“Fahri, aku mencintaimu.” Ia mengucapkannya dengan penuh kesungguhan.
“Aku juga mencintaimu, Aisha,” jawabku sambil mengecup keningnya penuh cinta.
“Kecupan pertama yang tak akan pernah kulupa,” lirih Aisha.
“Aisha, cinta Tuhan memanggil-manggil kita. Saatnya shalat Isya. Aku ke masjid dulu untuk shalat berjamaah. Kau shalat di rumah saja ya. Dalam suasana seperti apapun shalat fardhu adalah utama.”
Dia mengangguk.
“Tapi selesai shalat langsung pulang. Jangan lama-lama di masjid. Shalat sunnahnya di rumah saja.”

Silakan lanjutkan baca di novelnya, Ayat-ayat Cinta, Novel Pembangun Jiwa Bab XVIII

Image: Google

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Soal Teks Puisi (Musikalisasi Puisi) - Kelas VIII

Kompetensi Dasar (KD) B.Indonesia Kelas 8 (Kurikulum 2013 - Revisi Sesuai Permen No.24 Tahun 2016)

Mana yang Betul: memperoleh atau memeroleh?