Dijenguk Sahabat Nabi | Kutipan Bab XI Novel Ayat-ayat Cinta
Kembali ke HOME
Lanjutan dari Bab X
Kepada Syaikh Ahmad aku berikan surat Noura untuk beliau baca. Jamaah shalat shubuh sudah banyak yang pulang. Kecuali beberapa kakek-kakek yang beri’tikaf dan membaca Al-Qur’an menunggu sampai waktu dhuha tiba. Aku diajak Syaikh Ahmad masuk ke dalam kamar imam. Aku memohon kepada beliau untuk memperlakukan gadis itu dengan lebih baik dan bijak. Aku memohon kepada beliau agar gadis itu jangan dicela atas apa yang ditulis dan dilakukannya. Gadis itu memang sedikit berbohong ketika mengatakan surat itu ucapan terima kasih semata. Gadis itu perlu dikokohkan semangat hidupnya dan diyakinkan dia tidak akan mendapatkan perlakuan buruk lagi. Dia akan aman di Mesir. Syaikh Ahmad membaca surat itu dan menitikkan air mata. “Akan aku minta kepada Ummu Aiman untuk mencurahkan perhatian yang lebih padanya. Dia memang memerlukan rasa aman dan kasih sayang yang selama ini hilang. Dan dia sepertinya belum merasa yakin dia akan mendapatkan rasa aman dan kasih sayang di sini.” Syaikh Ahmad berjanji akan menyelesaikan masalah Noura sebaik-baiknya dan meminta diriku agar tidak terganggu dan konsentrasi pada tesis. Dan surat Noura itu aku berikan pada Syaikh. Aku tidak mau menyimpannya. Baru aku pulang.
Sampai di rumah aku baca Al-Qur’an satu halaman. Aku ingin memejamkan mata setengah jam saja. Aku pesan pada Saiful agar membangunkan aku sampai aku benar-benar bangun pada pukul setengah tujuh.
Pukul setengah tujuh aku dibangunkan. Kerikil di mata belum sepenuhnya hilang. Aku mandi. Sarapan belum jadi. Aku mempersiapkan segalanya untuk pergi. Jawaban untuk Alicia. Proposal tesis. Dan disket berisi naskah terjemahan. Karena perjalanan panjang aku harus berangkat pagi. Di metro aku tidak dapat tempat duduk. Metro penuh oleh orang-orang yang berangkat kerja. Turun di Tahrir aku langsung mencari Eltramco menuju Hayyu Sabe. Tujuanku adalah @lfenia. Warnet yang dikelola teman-teman mahasiswa dari Indonesia. Pukul delapan aku sampai di sana. Bertemu Furqon, penjaga warnet yang sudah seperti saudara sendiri. Furqon memelukku dan berkata, “Pucat sekali sampean Mas. Begadang ya?”
Aku menganggukkan kepala. Furqon mempersilakan aku memilih sendiri tempat yang kuinginkan. Hanya ada tiga orang yang sedang berlayar di dunia maya. Aku memilih yang paling dekat dari tempatku berdiri. Membuka Yahoomail. Mengirim naskah terjemahan dengan attachment. Membuka beberapa message di mailist Mutarjim, Qahwaji, dan Indonesia Cinta Damai. Melihat Ahram, Time, Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka dan Islam-online. Satu jam aku di @lfenia. Furqan menyuguhkan segelas teh Arousa. Teh paling merakyat di Mesir. Jika dibuat kental dan minum masih dalam keadaan agak panas pelan-pelan. Sruput demi sruput. Teh Arousa mampu meringankan kepala yang berat dan menyegarkan pikiran. Dari @lfenia aku langsung naik bis 926 menuju kampus Al Azhar di Maydan Husein. Kuserahkan proposal tesiskepada Syuun Thullab Dirasat Ulya Fakultas Ushuluddin. Aku merasa aku akan terlambat sampai di National Library. Aku kontak Aisha memberitahukan posisi keberadaanku dan meminta mereka menunggu jika aku terlambat.
Benar aku terlambat sepuluh menit. Aku minta maaf. Kukeluarkan jawaban atas pertanyaan Alicia yang telah kujilid.
“Semua pertanyaan tentang perempuan dalam Islam saya jawab dalam empat puluh halaman. Pertanyaan lainnya saya jawab dengan menerjemahkan buku yang ditulis oleh Prof.Dr. Abdul Wadud Shalabi.”
Alicia dan Aisha berdecak kaget dan gembira atas keseriusanku. Aku jelaskan siapa sebenarnya yang menerjemahkan buku Prof. Shalabi ke dalam bahasa Inggris. Sahamku dalam terjemahan itu hanyalah membaca ulang dan mengoreksinya serta menerjemahkan hadits dan melengkapi terjemahan Al-Qur’an yang ditinggalkan Maria. Korektor akhir atas semuanya adalah Syaikh Ahmad Taqiyyuddin. Lalu kami berdiskusi selama dua jam setengah. Saat berdiskusi aku merasa badanku terasa meriang sekali. Kepalaku berat tapi aku tahan dan aku kuat-kuatkan. Alicia minta data diriku dan alamat lengkapku. Dua hari lagi rencananya ia akan kembali ke Amerika. Aisha berkata suatu saat nanti akan mengajak diriku untuk berdiskusi lagi. Kami berpisah. Di luar gedung terik panas benar-benar menggila. Aku naik metro. Sampai di Maadi setengah tiga.Aku belum shalat. Terpaksa aku turun untuk shalat di masjid yang ada di luar mahattah.
Aku meneruskan perjalanan. Ubun-ubun kepalaku terasa sangat nyeri. Di Tura El-Esmen badai panas bergulung menebar debu ke dalam metro. Sangat tidak nyaman. Turun di Hadayek Helwan aku merasa tidak kuat untuk berjalan ke apartemen. Aku panggil taksi. Kepalaku nyeri sekali. Tubuh seperti remuk. Aku lupa belum sarapan sejak pagi. Sampai di halaman apartemen aku sempat melihat jam tangan. Pukul tiga seperempat. Kepalaku seperti ditusuk tombak berkarat. Sangat sakit. Begitu membuka pintu rumah aku merasa tidak kuat melangkahkan kaki. Kepala terasa seperti digencet palu godam. Lalu aku tidak tahu apa yang terjadi. Mataku menangkap kilatan cahaya putih lalu gelap.
* * *
Dalam keremangan gelap aku melihat ada cahaya. Perlahan aku membuka mata. Aku melihat langit-langit berwarna putih. Bukan langit-langit kamarku. Langit-langit kamarku biru muda. Kepalaku masih berat.
“Alhamdulillah. Kau sudah tersadar Mas,” suara Saiful serak. Aku memandang wajahnya. “A..aku di...di mana?” lidahku terasa kelu sekali.
“Di rumah sakit Mas,” lirih Saiful.
“Kenapa?”
“Sudah lah Mas istirahat dulu. Jangan memikirkan apa-apa dulu.”
Kepalaku terasa nyeri kembali. Aku berusaha berpikir, mengingat-ingat apa yang terjadi padaku sehingga ada di rumah sakit ini. Perjalanan melelahkan, kepanasan dengan perut kosong. Membuka pintu dengan kepala sakit luar biasa seperti dihantam palu godam. Lalu gelap. Saiful menatapku dengan mata berkaca.
“Jam be..berapa?” tanyaku padanya.
“Setengah tiga malam Mas.”
Aku teringat belum shalat Ashar, Maghrib dan Isya. Aku ingin bangkit tapi seluruh tubuhku terasa lumpuh. Kepalaku tiba-tiba terasa sakit sekali.
“Aduuh! Astaghfirullah!” aku menahan sakit tiada terkira.
“Kenapa Mas?”
Semuanya kembali terasa gelap. Aku berlayar dalam gelap dan keheningan. Mengarungi dunia yang tiada aku tahu namanya. Aku mendengar suara magic Syaikh Utsman Abdul Fattah. Fahri, baca surat Al Anbiya! Kubaca surat Al Anbiya. Teruskan Surat Al Hajj, pakai qiraah Imam Warasy (Imam Warasy, seorang Imam Qiraah yang terkenal, mengambil qiraahnya dari Imam Nafi bin Abdurrahman Al-Madani yang mengambil qiraah dari Imam Abu Ja’far Al-Qari dan tujuh puluh tabiin. Dan mereka semua mengambil qiraah dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah dari Ubay bin Kaab dari Rasulullah SAW). Aku membaca dengan qiraah Warasy sampai selesai. Semuanya gelap kembali. Aku tidak mendengar apa tidak melihat apa-apa. Aku kembali mendengar suara Syaikh Utsman, beliau membaca surat Al Furqan dengan qiraah Imam Hamzah aku mendengar dengan seksama kefasihan tajwidnya. Sampai ayat enam puluh lima beliau membaca dengan menangis tersedu-sedu.
Aku ikut menangis. Beliau tiada kuasa untuk melanjutkannya. Aku membacanya dan melanjutkannya dengan qiraah yang sama. Selesai. Syaikh Utsman meminta aku meneruskan satu surat lagi. Aku memenuhi titah beliau, kubaca surat Asy Syuara. Sampai pada ayat seratus delapan puluh empat daun telingaku menangkap suara isak tangis sayup-sayup. Aku merasa ada sentuhan halus di pipiku. Aku mengerjapkan mataku.
“Fahri, kau sudah sadar Fahri. Kau bangun Fahri. Ini aku,” suara halus perempuan. Aku coba membuka mata lebih lebar. Semakin terang. Aku melihat wajah putih bersih. Dia duduk di kursi dekat dengan dadaku.
“Ma..Maria?!” aku memanggil namanya, tapi cuma bibirku yang kurasa bergerak tanpa suara.
“Ya aku Maria,” ia mendekatkan wajahnya ke wajahku.
.“Astaghfirullah!” lirihku.
“Ada apa Fahri?”
“Ma..mana Saiful?”
“Sedang keluar, dia kusuruh sarapan.”
“Jam berapa?”
“Jam delapan pagi.”
Maria tiada berkedip memandangi diriku yang terbujur tiada berdaya seperti bayi. Matanya berkaca-kaca, hidungnya memerah dan pipinya basah.
“Kenapa kau kemari, Maria?”
“Aku ingin tahu keadaanmu. Aku mencemaskanmu.”
“Kau menangis Maria?”
“Kau membuatku menangis Fahri. Kau mengigau terus dengan bibir bergetar membaca ayat-ayat suci. Wajahmu pucat. Air matamu meleleh tiada hento. Melihat keadaanmu itu apa aku tidak menangis,” serak Maria sambil tangan kanannya bergerak hendak menyentuh pipiku yang kurasa basah.
“Jangan Maria tolong, ja..jangan sentuh!”
“Maaf, aku lupa. Keadaan haru sering membuat orang lupa.”
Aku melihat di samping kiriku ada tiang besi putih, ada tabung infus tergantung di sana. Di bawah tabung ada selang kecil mengalirkan air infus ke dalam nadi tangan kiriku. Air infus terus menetes seperti embun di musim penghujan. Aku kembali merasakan nyeri dalam tempurung kepalaku. Seperti ada ratusan paku menacam. Aku berusaha menahan dengan memejamkan mata dan otot rahang menegang. Tak kuat juga aku mengaduh, meskipun lirih.
“Ada apa Fahri, apa yang kau rasakan?” suara Maria serak.
“Kepalaku nyeri sekali.”
“Biar kupanggilkan petugas,” telingaku menangkap suara langkah kaki Maria. Tak lama kemudian ia datang dengan seorang dokter lelaki. Dokter itu memasang menempelkan tangannya di keningku. Memeriksa tekanan darahku. Memasang termometer sebesar pena di ketiakku. Dan dengan suara yang lembut menanyai apa yang kurasakan serta membesarkan hatiku. Ia mengambil termometer dan melihatnya. Lalu menuliskan sesuatu di dalam berkas yang di bawanya. Kemudian menyuntikkan sesuatu lewat jarum selang infus yang menancap di tangan kiriku.
“Suntikan untuk meredakan rasa sakit. Kau akan cepat sembuh,” kata dokter itu. Maria mengamati dengan seksama apa yang dilakukan dokter itu padaku. Ia berdiri di samping ranjang. Rambutnya yang hitam terkucir rapi. Setelah mendapat suntikan itu rasa sakit di kepalaku terasa mulai berkurang. Saiful datang tepat saat dokter setengah baya yang mengenalkan dirinya bernama Ramzi Shakir itu hendak pergi. Saiful menyalami dokter Ramzi dan berbincang sebentar dengannya. Maria duduk di kursi di samping ranjang. Saiful mendekat. Ia mengucapkan salam dan tersenyum.
“Maria, boleh aku bicara empat mata dengan Saiful?” lirihku pada Maria.
Maria mengangguk dan melangkah keluar. Ia tidak membawa serta tas kecilnya.
“Saif, kenapa kau tinggalkan aku sendirian dengan Maria? Kenapa dia yang menunggui aku? Dia bukan mahramku.” Aku memaksakan diri untuk bersuara agak keras. Saiful sepertinya tahu kalau aku marah dan tidak berkenan.
“Maafkan saya Mas. Keadaannya darurat. Aku belum tidur sama sekali semalam dan perutku perih sekali. Kebetulan Maria datang,” jawabnya.
“Teman-teman yang lain mana?”
Saiful lalu menceritakan kejadian itu.
“Saat Mas pulang dan terjatuh tak sadarkan diri di pintu, yang ada di rumah cuma saya seorang. Saya langsung mengontak Mishbah yang saat itu ada di Wisma agar pulang. Sedangkan Hamdi dan Rudi, hari itu sedang dalam perjalanan ikut rihlah (rekreasi) ke Luxor yang diadakan Majlis A’la. Mereka tidak mungkin dihubungi. Saya bingung, saya naik ke atas. Untung saat itu Yousef dan Maria ada. Maria langsung menelpon mamanya, Madame Nahed, yang sedang kerja di Rumah Sakit Maadi. Madame Nahed meminta pada Maria agar seketika itu juga membawa Mas Fahri ke rumah sakit. Madame Nahed mengurusi semuanya dan memilihkan kamar kelas satu. Dia juga yang memilihkan dokter. Madame Nahed tidak bisa langsung menanganimu sebab dia dokter spesialis anak. Mas tak sadarkan diri dalam waktu yang lama sekali. Mas baru sadar jam setengah tiga malam. Setelah itu tak sadarkan diri lagi. Mishbah sampai di rumah sakit jam lima sore ikut menunggui sampai jam satu malam. Saya dan Mishbah sepakat membuat jadwal. Malam itu saya minta Mishbah istirahat di rumah, karena dia terlihat sangat kelelahan. Dan saya minta dia datang pukul sembilan pagi untuk gantian jaga. Pukul setengah delapan tadi Maria datang tepat ketika saya merasakan perut ini sedemikian perih karena sejak sore kemarin belum kemasukan apa-apa. Melihat wajah saya pucat Maria minta saya keluar keluar untuk makan dan membersihkan badan. Jadilah Maria menjaga Mas sendirian.” Mendengar cerita itu aku maklum adanya. Saiful berjanji akan menjaga diriku sebaik-baiknya bergantian dengan Mishbah. Dan tidak akan membiarkan diriku dijaga oleh orang lain.
Maria mengetuk pintu minta izin masuk. Aku minta Saiful untuk mempersilakan dia masuk. Maria datang dengan menenteng kantong plastik putih. Ia duduk dan mengeluarkan isinya; satu botol air mineral, satu kotak susu Juhayna isi satu kilo, satu kotak ashir mangga, sebungkus roti tawar, satu kaleng vitrac rasa strawberry, satu kaleng cokelat, sekotak keju president, dan satu kotak tissue meja. Ia menatanya di atas meja yang masih kosong tidak ada apa-apa. Maria menawariku makan atau minum. Aku sama sekali tidak berselera. Ia mengambil selembar roti tawar, mengoleskan keju dan cokelat dan menutupnya dengan selembar roti tawar di atasnya dan menyerahkan pada Saiful. Saiful tidak bisa menolaknya. Maria kembali mengambil roti tawar. Kali ini untuk dirinya. Lalu ia mengambil dua gelas dan bertanya pada Saiful mau minum apa. Saiful menjawab, air putih saja. Maria menuangkan air mineral ke dalam gelas dan menyerahkan pada Saiful. Ia sendiri menuangkan ashir mangga.
Kudengar mereka berdua berbincang sambil makan roti. Saiful mengucapkan rasa terima kasih atas kebaikan Maria. Dengan sangat hati-hati ia menjelaskan masalah mahram kepada Maria. Dengan bahasa halus ia meminta agar jika bisa Maria datang bersama ayah atau adiknya. Jadi seandainya berbincang atau berada dalam satu ruangan seperti itu ada mahram yang menemaninya. Bukan karena tidak percaya pada Maria tapi demi kedamaian jiwa.
Aku diam saja. Sebab perlahan aku kembali merasakan kepalaku mulai bersenut-senut. Aku masih bisa mendengar Saiful menyitir beberapa sabda Rasul yang memberikan tuntunan cara berinteraksi pria dengan wanita. Batasan boleh dan tidaknya. Aku juga mendengar pertanyaan Maria tentang boleh tidaknya perempuan menjenguk pria yang dikenalnya yang sakit. Aku mendengar Saiful menjawab boleh, mendasarkan jawabannya bahwa Imam Bukhari dalam kitab shahihnya secara khusus menulis “Bab Perempuan Membesuk Lelaki”. Beliau mengatakan, “Ummu Darda’ menjenguk seorang lelaki ahli masjid dari kalangan Anshar.” Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa ketika Ka’ab bin Malik Al Anshari sakit keras dan dekat dengan kematiannya, Ummu Mubasyir binti Al Barra bin Ma’rur Al Anshariyyah menjenguknya. Maka tidak ada masalah seorang perempuan menjenguk saudaranya yang lelaki selama masih menjaga adab kesopanan yang diajarkan Rasulullah.
Setelah itu aku tidak mendengar lagi apa yang mereka bicarakan. Aku kembali merasakan nyeri yang luar biasa dalam tempurung kepalaku. Aku mengaduh. Lalu semuanya terasa gelap.
* * *
Ketika aku sadar, aku tidak menemukan Saiful dan Maria. Yang ada di sisiku adalah Mishbah dan beberapa teman dari Nasr City yang kukenal baik. Ada Mas Khalid, Kang Kaji, Mas Junaedi, Sofwan, Iswan, Khalil, Bimo dan Chakim. Mereka semua tersenyum padaku meskipun aku menangkap guratan sedih dalam wajah mereka. Mereka mendekat satu persatu dan memelukku pelan sambil berbisik, “Syafakallah syifaan ajilan, syifaan la yughadiru ba’dahu saqaman.” (Semoga Allah menyembuhkanmu secepatnya, dengan kesembuhan yang tiada sakit setelahnya.)
Kutanyakan pada Mishbah jam berapa sekarang. Mishbah menjawab jam satu siang. Apakah ini hari Ahad? Mishbah menjawab iya. Aku minta pada Mishbah untuk menghubungi Syaikh Utsman. Rabu lalu aku sudah tidak datang. Aku minta Mishbah menjelaskan kondisiku pada beliau dan memohon agar beliau memberikan doanya. Mishbah keluar. Aku mencoba mengangkat tanganku. Tidak bisa juga. Rasanya seperti lumpuh. Aku meneteskan air mata. Aku belum berani bertanya sakit apa aku sebenarnya.
Aku minta pada Mishbah dan teman-teman agar tidak mengabarkan sakitku ini ke Indonesia. Aku merasa ingin buang air kecil. Aku katakan itu pada Mas Khalid. Mas Khalid mengambilkan pispot. Teman-teman yang lain keluar. Mas Khalid memasukkan pispot ke balik selimutku. Tangannya meraba tanpa membuka auratku dan berusaha aku bisa buang air kecil di dalam pispot. Aku tidak bisa membayangkan kalau dalam keadaan seperti ini yang ada di sampingku hanyalah Maria seperti tadi pagi. Apakah aku harus buang air kecil begitu saja di atas kasur seperti waktu aku masih bayi dulu, ataukah aku akan meminta tolong padanya untuk memasangkan pispot. Selesai buang air kecil, aku minta pada Mas Khalid mentayamumi aku.(Tayamum adalah bersuci dengan menggunakan debu sebagai ganti wudhu.) Tanganku sama sekali tidak bisa digerakkan. Lalu aku shalat dengan menggunakan isyarat mata dan tubuh terlentang tiada berdaya seperti seorang balita.
Teman-teman menemani sampai jam besuk habis. Tinggal Mishbah seorang yang tetap menunggui diriku. Mishbah memberi tahu habis maghrib, insya Allah, Syaikh Utsman Abdul Fattah akan datang. Aku meneteskan air mata, diriku telah menyusahkan banyak orang. Mishbah mengusap air mata yang meleleh dipipiku dengan tissue yang dibeli Maria, baunya wangi. Sambil menghiburku bahwa semuanya akan kembali seperti sedia kala, aku akan sembuh dan sehat kembali serta bisa main bola lagi. Saiful datang membawa bantal. Ia bilang sejak sekarang ia dan Mishbah akan menjagaku berdua. Tidur dan istirahat bergantian di dalam kamar kelas satu ini. Memang di kamar yang tidak terlalu luas ini hanya aku seorang pasiennya. Aku tidak tahu bagaimana nanti membayar ongkosnya. Kepalaku terasa berat lalu nyeri dan semuanya kembali terasa gelap.
Dalam gelap aku tidak tahu berada di alam apa. Tiba-tiba aku berjumpa dengan orang yang kurus dan bercahaya wajahnya, orang yang belum pernah aku berjumpa dengannya. Dia mengenalkan dirinya sebagai Abdullah bin Mas’ud. Aku tersentak kaget. Abdullah bin Mas’ud adalah satu-satunya sahabat, yang Baginda Nabi ingin mendengar bacaan Al-Qur’an darinya. Abdullah bin Mas’ud adalah Guru Besar Tafsir dan Qiraah di kota Kufah. Imam-imam besar dari kalangan tabiin banyak yang belajar membaca Al-Qur’an darinya. Abdullah bin Mas’ud tersenyum padaku serta merta aku mencium tangannya, ia menyambutku dan memeluk diriku. Aku bisa berdiri, aku tidak lumpuh. Ibnu Mas’ud membisikkan syafakallah ke telingaku. Aku mencium bau harum dari jubah dan tubuhnya. Beliau melepaskan pelukannya dan memintaku membaca Al Baqarah. Aku membacanya dengan hati bahagia. Beberapa kali dia membetulkan bacaanku. Aku membaca sampai akhir Al Baqarah. Abdullah bin Mas’ud memintaku berhenti. Abdullah bin Mas’ud mencium keningku dan hendak pergi. Aku menahannya. Aku katakan aku ingin menanyakan sesuatu padanya. Beliau tersenyum dan menyilakan aku bertanya. Aku tanyakan padanya, “Apakah benar riwayat yang mengatakan Anda tidak mengakui mushaf Utsmani?”
Abdullah bin Mas’ud tersenyum padaku dan berkata dengan suara yang sangat berwibawa, “Yang tidak mengakui mushaf Utsmani dan tidak suka dengannya adalah orang-orang munafik dan orang-orang yang memusuhi agama Allah. Mereka mencatut namaku untuk membela tujuan-tujuan mereka yang jahat. Apa yang ada di dalam mushaf Utsmani dari Al Fatihah sampai An Naas adalah wahyu yang diturunkan Allah melalui malaikat Jibril kepada Baginda Nabi. Tertulis utuh dan sempurna. Tidak berkurang dan tidak bertambah meskipun cuma satu huruf. Dan apa yang ada dalam mushaf Utsmani itulah yang aku ajarkan pada para tabiin dan mereka mengajarkan pada murid-muridnya. Begitu seterusnya hingga sampai kepadamu dan kepada jutaan umat Muhammad di seluruh penjuru dunia. Al-Qur’an terjaga keasliannya. Memang akan selalu ada orang-orang jahat yang berusaha meragukan kebenaran dan merusak kesucian Al-Qur’an. Namun ketahuilah usaha mereka akan sia-sia. Sebab Allah sendiri yang akan menjaga keutuhan dan kesuciannya sampai hari akhir. Dan orang-orang pilihan Allah di dunia ini adalah mereka yang disebut Ahlul Quran. Orang-orang yang hatinya selalu terpatri pada Al-Qur’an, mengimani Al-Qur’an, dan berusaha mengajarkan dan mengamalkan isi Al-Qur’an dengan penuh keikhlasan.”
Sahabat nabi, Abdullah bin Mas’ud tersenyum. Aku pun tersenyum. Aku ingin ikut dengannya, tapi beliau tidak memperbolehkannya. Aku lalu titip padanya salam sejahtera, rasa cinta dan rasa rindu tiada terkira untuk Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sahabat nabi itu lalu meninggalkan diriku. Semakin lama semakin jauh. Mengecil. Menjadi titik. Dan hilang. Aku merasa kehilangan dan sedih. Mataku basah.
Silakan lanjutkan baca di novelnya, Ayat-ayat Cinta, Novel Pembangun Jiwa: BAB XII....
Image: Google
Komentar
Posting Komentar