G30S/PKI: Ini Kesaksian Putra Sutoyo S. Mengenai Penculikan Ayahnya
Masih segar dalam ingatan Letnan Jenderal (Purnawirawan) Agus Widjojo peristiwa mencekam yang dialami keluarganya pada 1 Oktober 1965. Sekitar pukul 03.00 dini hari, rumahnya digedor pasukan bersenjata. Ayahnya, Mayor Jenderal (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo dibawa pergi dan tak pernah kembali lagi.
Agus yang masih remaja dan duduk di bangku SMA tak benar-benar memahami peristiwa yang dilakukan Gerakan 30 September. Pascakehilangan ayah, dia berupaya mandiri dan melanjutkan sekolah tanpa membebani keluarga.
Berikut wawancara wartawan
CNNIndonesia.com, Prima Gumilang dan Suriyanto, dengan Agus di ruang kerjanya di Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, Jumat (30/9).
Seperti apa situasi saat terjadi peristiwa penculikan 1 Oktober 1965 di rumah Anda?
Saat itu kami sekeluarga ada di rumah. Kami hanya punya dua kamar, orang tua saya di kamar depan dan saya di kamar belakang. Kebetulan jalan di samping rumah sedang terbuka lebar karena garasi direnovasi.
Sehingga mereka datang dan bisa langsung masuk ke belakang rumah. Mereka menggedor kamar pembantu yang membawa kunci pintu, mengambilnya dan kemudian masuk ke dalam rumah.
Tidak ada perlawanan?
Di rumah orang tua saya tidak ada penjagaan, tidak ada senjata. Jadi memang tidak ada perlawanan sama sekali. Suasana masih gelap jam tiga pagi. Orang tua meminta jangan keluar kamar. Kami pun menuruti.
Mereka banyak sekali. Saya hanya mendengar dari dalam kamar. Perilaku mereka kasar, menusuk-nusuk pintu dengan sangkur. Tidak ada penggunaan senjata api.
Tidak ada gunanya perlawanan, ayah lalu keluar mengikuti mereka.
Belakangan kami mendapat cerita dari ibu, katanya mereka menjemput ayah karena dipanggil Bung Karno, namun tidak bisa menunjukkan surat perintah.
Apakah sempat melihat kondisi jenazah ayah Anda setelah ditemukan di Lubang Buaya?
Saat itu kami sudah tidak boleh melihat. Jenazah diangkat setelah tiga hari di dalam sumur tua, sudah membusuk. Ketika jenazah tiba di rumah duka, kami tidak dapat membukanya dari peti. Yang jelas sudah meninggal.
Penghilangan nyawa itu dilakukan secara paksa. Itu saja sudah cukup buat saya.
Apa yang Anda pahami saat itu?
Pada waktu itu memang tidak mudah membuat kesimpulan atau anatomi tentang apa hakikat peristiwa ini dan siapa saja yang terlibat. Itu tidak bisa, semua simpang siur, dan saya rasa itu bagian dari sikap publik yang tidak tahu-menahu, kecuali yang terlibat di dalam gerakan, ataupun pihak yang terkait di dalamnya.
Saya membaca surat kabar keesokan harinya yang memberitakan penculikan tujuh perwira AD tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Pemberitaan masih dalam nuansa dikaitkan dengan kondisi revolusioner pada waktu itu, bagaimana posisi Bung Karno, dan adanya benturan garis politik yang keras antara PKI dan AD.
Secara umum itu yang bisa saya tangkap.
Saya baru tahu peristiwa G30S setelah menjadi perwira. Jangan menduga saya tahu segalanya. Saya mencari informasi dari berbagai surat kabar umum, mengandalkan sumber-sumber informasi terbuka yang kemudian saya cerna dan analisis.
Dokumen visum et repertum menunjukkan tidak ada luka bekas sayatan tujuh perwira di Lubang Buaya, sedangkan tersiar kabar adanya berbagai penyiksaan. Bagaimana Anda memahami ini?
Saya tidak mempersoalkan bentuk tindakan penyiksaan, entah penyayatan atau pemotongan. Itu tidak saya persoalkan. Penemuan tujuh jenazah perwira AD dalam lubang sumur tua di Lubang Buaya, dengan luka tembak di kepala, tusukan benda tajam, itu saja sudah merupakan bukti adanya pembunuhan.
Saya tidak persoalkan intensitas kekerasan. Tetapi bahwa mereka itu dibunuh, itu sudah cukup bagi saya untuk mengatakan itulah awal dari Tragedi 1965.
Bagaimana sosok ayah, Pak Sutoyo Siswomiharjo, di mata Anda?
Kami berasal dari keluarga masa lalu yang masih memegang nilai konservatif. Tidak seperti keluarga modern yang dapat berkomunikasi dengan lancar dan berdiskusi.
Hubungan kami berjarak antara orang tua dan anak. Diitambah kesibukan ayah, kami tidak bisa berbicara banyak.
Ayah saya tipikal yang serius dalam melaksanakan tugas dan kewajiban. Namun ia menyempatkan diri bergembira dengan kawan-kawannya. Saat bertemu kawannya, mereka tertawa terbahak.
Apa ada hubungan peristiwa 1965 dengan keputusan Anda masuk Akabri?
Bayangkan saja, peristiwa itu membuat sebuah keluarga kehilangan kepala keluarganya. Ke depannya seperti apa?
Saya banyak memikirkan masa depan dan berpikir sejauh mana keluarga mampu mendukung pendidikan saya. Saat itu saya lebih banyak berpikir bagaimana membangun masa depan berdasarkan kemampuan saya sendiri tanpa harus memberi beban kepada keluarga.
Saya mencari kepastian untuk masa depan sekaligus mencari tempat untuk menempa karakter. Dari pertimbangan itu kemudian saya mengambil keputasan: yang terbaik buat saya adalah menjadi tentara.
Anda tidak takut masuk ketentaraan setelah peristiwa G30S?
Masalahnya bukan soal tentara sebagai profesi. Saya belum punya cita-cita mau jadi apa. Saya hanya berpikir masa depan hidup saya.
Tidak ada dorongan dari keluarga untuk jadi prajurit?
Keputusan untuk pengabdian keprajuritan adalah keputusan saya. Tapi memang sedikit banyak dipengaruhi oleh peristiwa G30S.
Setelah menjadi tentara, apa merasa cocok?
Saya rasakan masuk tentara memerlukan pengabdian dan kesadaran untuk mengabdi pada negara dan bangsa.
Salah apabila masuk keprajuritan untuk mencari kesejahteraan, kenyaman, dan hidup berlebih. Bergabung dengan tentara hanya ada kebanggaan.
Seorang penulis Inggris mengatakan, seorang prajurit tak punya hak dan kewenangan (untuk bertanya) mengapa, tapi laksanakan atau mati. Theirs not question why, but to do or to die.
Itu jadi prinsip hidup Anda?
Sudah mendarah daging selama 33 tahun. Sangat membekas.
Sumber: https://m.cnnindonesia.com/nasional/20160930172103-75-162462/agus-widjojo-dan-malam-penculikan-1965/
Agus yang masih remaja dan duduk di bangku SMA tak benar-benar memahami peristiwa yang dilakukan Gerakan 30 September. Pascakehilangan ayah, dia berupaya mandiri dan melanjutkan sekolah tanpa membebani keluarga.
Berikut wawancara wartawan
CNNIndonesia.com, Prima Gumilang dan Suriyanto, dengan Agus di ruang kerjanya di Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, Jumat (30/9).
Seperti apa situasi saat terjadi peristiwa penculikan 1 Oktober 1965 di rumah Anda?
Saat itu kami sekeluarga ada di rumah. Kami hanya punya dua kamar, orang tua saya di kamar depan dan saya di kamar belakang. Kebetulan jalan di samping rumah sedang terbuka lebar karena garasi direnovasi.
Sehingga mereka datang dan bisa langsung masuk ke belakang rumah. Mereka menggedor kamar pembantu yang membawa kunci pintu, mengambilnya dan kemudian masuk ke dalam rumah.
Tidak ada perlawanan?
Di rumah orang tua saya tidak ada penjagaan, tidak ada senjata. Jadi memang tidak ada perlawanan sama sekali. Suasana masih gelap jam tiga pagi. Orang tua meminta jangan keluar kamar. Kami pun menuruti.
Mereka banyak sekali. Saya hanya mendengar dari dalam kamar. Perilaku mereka kasar, menusuk-nusuk pintu dengan sangkur. Tidak ada penggunaan senjata api.
Tidak ada gunanya perlawanan, ayah lalu keluar mengikuti mereka.
Belakangan kami mendapat cerita dari ibu, katanya mereka menjemput ayah karena dipanggil Bung Karno, namun tidak bisa menunjukkan surat perintah.
Apakah sempat melihat kondisi jenazah ayah Anda setelah ditemukan di Lubang Buaya?
Saat itu kami sudah tidak boleh melihat. Jenazah diangkat setelah tiga hari di dalam sumur tua, sudah membusuk. Ketika jenazah tiba di rumah duka, kami tidak dapat membukanya dari peti. Yang jelas sudah meninggal.
Penghilangan nyawa itu dilakukan secara paksa. Itu saja sudah cukup buat saya.
Apa yang Anda pahami saat itu?
Pada waktu itu memang tidak mudah membuat kesimpulan atau anatomi tentang apa hakikat peristiwa ini dan siapa saja yang terlibat. Itu tidak bisa, semua simpang siur, dan saya rasa itu bagian dari sikap publik yang tidak tahu-menahu, kecuali yang terlibat di dalam gerakan, ataupun pihak yang terkait di dalamnya.
Saya membaca surat kabar keesokan harinya yang memberitakan penculikan tujuh perwira AD tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Pemberitaan masih dalam nuansa dikaitkan dengan kondisi revolusioner pada waktu itu, bagaimana posisi Bung Karno, dan adanya benturan garis politik yang keras antara PKI dan AD.
Secara umum itu yang bisa saya tangkap.
Saya baru tahu peristiwa G30S setelah menjadi perwira. Jangan menduga saya tahu segalanya. Saya mencari informasi dari berbagai surat kabar umum, mengandalkan sumber-sumber informasi terbuka yang kemudian saya cerna dan analisis.
Dokumen visum et repertum menunjukkan tidak ada luka bekas sayatan tujuh perwira di Lubang Buaya, sedangkan tersiar kabar adanya berbagai penyiksaan. Bagaimana Anda memahami ini?
Saya tidak mempersoalkan bentuk tindakan penyiksaan, entah penyayatan atau pemotongan. Itu tidak saya persoalkan. Penemuan tujuh jenazah perwira AD dalam lubang sumur tua di Lubang Buaya, dengan luka tembak di kepala, tusukan benda tajam, itu saja sudah merupakan bukti adanya pembunuhan.
Saya tidak persoalkan intensitas kekerasan. Tetapi bahwa mereka itu dibunuh, itu sudah cukup bagi saya untuk mengatakan itulah awal dari Tragedi 1965.
Bagaimana sosok ayah, Pak Sutoyo Siswomiharjo, di mata Anda?
Kami berasal dari keluarga masa lalu yang masih memegang nilai konservatif. Tidak seperti keluarga modern yang dapat berkomunikasi dengan lancar dan berdiskusi.
Hubungan kami berjarak antara orang tua dan anak. Diitambah kesibukan ayah, kami tidak bisa berbicara banyak.
Ayah saya tipikal yang serius dalam melaksanakan tugas dan kewajiban. Namun ia menyempatkan diri bergembira dengan kawan-kawannya. Saat bertemu kawannya, mereka tertawa terbahak.
Apa ada hubungan peristiwa 1965 dengan keputusan Anda masuk Akabri?
Bayangkan saja, peristiwa itu membuat sebuah keluarga kehilangan kepala keluarganya. Ke depannya seperti apa?
Saya banyak memikirkan masa depan dan berpikir sejauh mana keluarga mampu mendukung pendidikan saya. Saat itu saya lebih banyak berpikir bagaimana membangun masa depan berdasarkan kemampuan saya sendiri tanpa harus memberi beban kepada keluarga.
Saya mencari kepastian untuk masa depan sekaligus mencari tempat untuk menempa karakter. Dari pertimbangan itu kemudian saya mengambil keputasan: yang terbaik buat saya adalah menjadi tentara.
Anda tidak takut masuk ketentaraan setelah peristiwa G30S?
Masalahnya bukan soal tentara sebagai profesi. Saya belum punya cita-cita mau jadi apa. Saya hanya berpikir masa depan hidup saya.
Tidak ada dorongan dari keluarga untuk jadi prajurit?
Keputusan untuk pengabdian keprajuritan adalah keputusan saya. Tapi memang sedikit banyak dipengaruhi oleh peristiwa G30S.
Setelah menjadi tentara, apa merasa cocok?
Saya rasakan masuk tentara memerlukan pengabdian dan kesadaran untuk mengabdi pada negara dan bangsa.
Salah apabila masuk keprajuritan untuk mencari kesejahteraan, kenyaman, dan hidup berlebih. Bergabung dengan tentara hanya ada kebanggaan.
Seorang penulis Inggris mengatakan, seorang prajurit tak punya hak dan kewenangan (untuk bertanya) mengapa, tapi laksanakan atau mati. Theirs not question why, but to do or to die.
Itu jadi prinsip hidup Anda?
Sudah mendarah daging selama 33 tahun. Sangat membekas.
Sumber: https://m.cnnindonesia.com/nasional/20160930172103-75-162462/agus-widjojo-dan-malam-penculikan-1965/
Komentar
Posting Komentar