5W1H Cerita Inspiratif "Garam dan Telaga"
Dalam menyimak sebuah teks bacaan, dalam hal ini cerita inspiratif, kita harus memahami isi dengan memerhatikan pokok-pokok ceritanya. Pokok-pokok cerita itu dapat kita tentukan dengan berpedoman pada unsur 5W1H, what, where, when, who, why, how. Dalam bahasa Indonesia: apa, di mana, kapan, siapa, mengapa, bagaimana (disingkat Adik Simba). Kita menentukan apa yang terjadi, di mana peristiwa itu terjadi, kapan terjadi, siapa saja yang terlibat, mengapa terjadi, dan bagaimana peristiwanya. Simak teks cerita inspiratif berikut:
Berdasarkan cerita di atas, kita dapat membuat pertanyaan dan jawaban sebagai berikut.
1. Cerita atau peritiwa apa?
Jawab: Nasihat Pak Tua kepada seorang pemuda yang sedang dirundung masalah.
2. Di mana peristiwa ini terjadi?
Jawab: Di tepi sebuah telaga
3. Kapan peritiwa itu terjadi?
Jawab: Di suatu pagi
4. Siapa yang memberikan nasihat dan kepada siapa?
Jawab: Pak Tua kepada seorang pemuda
5. Mengapa air telaga yang ditabur garam tidak terasa asin?
Jawab: Karena air di telaga lebih banyak dibandingkan garam yang ditabur
6. Bagaimana peristiwa itu terjadi?
Jawab: Seorang pemuda datang meminta nasihat kepada Pak Tua yang bijak. Pemuda itu merasa bahwa hidupnya selalu dilanda kepahitan. Pak Tua lalu memberinya segelas air berisi segenggam garam. Ketika Pak Tua meminta sang pemuda meminumnya, sangat terasa pahit. Lalu Pak Tua membawa sang pemuda ke sebuah telaga. Segenggam garam ditaburkan lalu airnya diambil dengan sebuah gelas. Ketika diminum, air tetap terasa segar. Dari peristiwa itu, dapat diambil pelajaran bahwa jika hati kita seluas telaga, kepahitan hidup tidak akan terasa. Luaskan hati dalam setiap permasalahan maka dirimu akan tetap merasa tenang.
Garam dan Telaga
Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.
Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..”, ujar Pak tua itu.
“Pahit. Pahit sekali”, jawab sang tamu, sambil meludah ke samping.
Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.
Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”.
“Segar.”, sahut tamunya.
“Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?”, tanya Pak Tua lagi.
“Tidak”, jawab si anak muda.
Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.
“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”
Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. “Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan “segenggam garam”, untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.
Demikianlah, hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.
Berdasarkan cerita di atas, kita dapat membuat pertanyaan dan jawaban sebagai berikut.
1. Cerita atau peritiwa apa?
Jawab: Nasihat Pak Tua kepada seorang pemuda yang sedang dirundung masalah.
2. Di mana peristiwa ini terjadi?
Jawab: Di tepi sebuah telaga
3. Kapan peritiwa itu terjadi?
Jawab: Di suatu pagi
4. Siapa yang memberikan nasihat dan kepada siapa?
Jawab: Pak Tua kepada seorang pemuda
5. Mengapa air telaga yang ditabur garam tidak terasa asin?
Jawab: Karena air di telaga lebih banyak dibandingkan garam yang ditabur
6. Bagaimana peristiwa itu terjadi?
Jawab: Seorang pemuda datang meminta nasihat kepada Pak Tua yang bijak. Pemuda itu merasa bahwa hidupnya selalu dilanda kepahitan. Pak Tua lalu memberinya segelas air berisi segenggam garam. Ketika Pak Tua meminta sang pemuda meminumnya, sangat terasa pahit. Lalu Pak Tua membawa sang pemuda ke sebuah telaga. Segenggam garam ditaburkan lalu airnya diambil dengan sebuah gelas. Ketika diminum, air tetap terasa segar. Dari peristiwa itu, dapat diambil pelajaran bahwa jika hati kita seluas telaga, kepahitan hidup tidak akan terasa. Luaskan hati dalam setiap permasalahan maka dirimu akan tetap merasa tenang.
Komentar
Posting Komentar